Proses Dan Prosedur Kontrak



Kontrak (perjanjian) adalah suatu "peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal ". (Subekti, 1983:1).
Melalui kontrak terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat kontrak. Dengan kata lain, para pihak terikat untuk mematuhi kontrak yang telah mereka buat tersebut. Dalam hal ini fungsi kontrak sama dengan perundang-undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja. Secara hukum, kontrak dapat dipaksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum memberikan sanksi terhadap pelaku pelanggaran kontrak atau ingkar janji (wanprestasi).
Pengaturan tentang kontrak diatur terutama di dalam KUH Perdata (BW), tepatnya dalam Buku III, di samping mengatur mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian, juga mengatur perikatan yang timbul dari undang-undang misalnya tentang perbuatan melawan hukum.
Dalam KUH Perdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua perjanjian dan aturan khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja (perjanjian khusus) yang namanya sudah diberikan undang-undang. Contoh perjanjian khusus : jual beli, sewa menyewa, tukar-menukar, pinjam-meminjam, pemborongan, pemberian kuasa dan perburuhan.
Selain KUH Perdata, masih ada sumber hukum kontrak lainnya di dalam berbagai produk hukum. Misalnya : Undang-undang Perbankan dan Keputusan Presiden tentang Lembaga Pembiayaan. Di samping itu, juga dalam jurisprudensi misalnya tentang sewa beli, dan sumber hukum lainnya.
Suatu asas hukum penting berkaitan dengan berlakunya kontrak adalah asas kebebasan berkontrak. Artinya pihak-pihak bebas untuk membuat kontrak apa saja, baik yang sudah ada pengaturannya maupun yang belum ada pengaturannya dan bebas menentukan sendiri isi kontrak. Namun, kebebasan tersebut tidak mutlak karena terdapat pembatasannya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Aspek-aspek kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUH Perdata (BW) , yang menyiratkan adanya 3 (tiga asas) yang seyogyanya dalam perjanjian :
1.      Mengenai terjadinya perjanjian
Asas yang disebut konsensualisme, artinya menurut BW perjanijan hanya terjadi apabila telah adanya persetujuan kehendak antara para pihak (consensus, consensualisme).
2.      Tentang akibat perjanjian
Bahwa perjanjian mempunyai kekuatan yang mengikat antara pihak-pihak itu sendiri. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) BW yang menegaskan bahwa perjanjian dibuat secara sah diantara para pihak, berlaku sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut.
3.      Tentang isi perjanjianSepenuhnya diserahkan kepada para pihak (contractsvrijheid atau partijautonomie) yang bersangkutan.
Dengan kata lain selama perjanjian itu tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan, mengikat kepentingan umum dan ketertiban, maka perjanjian itu diperbolehkan.
Berlakunya asas kebebasan berkontrak dijamin oleh oleh Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menentukan bahwa :
"setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya".
Jadi, semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya memenuhi syarat, berlaku bagi para pembuatnya,sama seperti perundang-undangan. Pihak-pihak bebas untuk membuat perjanjian apa saja dan menuangkan apa saja di dalam isi sebuah kontrak.
Syarat Sahnya Kontrak
Dari bunyi Pasal 1338 ayat (1) jelas bahwa perjanjian yang mengikat hanyalah perjanjian yang sah. Supaya sah pembuatan perjanjian harus mempedomani Pasal 1320 KUH Perdata.
Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian yaitu harus ada kesepakatan, kecakapan, hal tertentu dan sebab yang diperbolehkan.
1.      Kesepakatan
Yang dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela di antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Kesepakatan tidak ada apabila kontrak dibuat atas dasar paksaan, penipuan atau kekhilafan.
2.      Kecakapan
Kecakapan di sini artinya para pihak yang membuat kontrak haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek hukum. Pada dasarnya semua orang menurut hukum cakap untuk membuat kontrak. Yang tidak cakap adalah orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang dewasa yang ditempatkan di bawah pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa. Anak-anak adalah mereka yang belum dewasa yang menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Meskipun belum berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian.
3.      Hal tertentu
Hal tertentu maksudnya objek yang diatur kontrak tersebut harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi tidak boleh samar-samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya kontrak fiktif. Misalnya jual beli sebuah mobil, harus jelas merk apa, buatan tahun berapa, warna apa, nomor mesinnya berapa, dan sebagainya. Semakin jelas semakin baik. Tidak boleh misalnya jual beli sebuah mobil saja, tanpa penjelasan lebih lanjut.
4.      Sebab yang dibolehkan
aksudnya isi kontrak tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang sifatnya memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Misalnya jual beli bayi adalah tidak sah karena bertentangan dengan norma-norma tersebut.
KUH Perdata memberikan kebebasan berkontrak kepada pihak-pihak membuat kontrak secara tertulis maupun secara lisan. Baik tertulis maupun lisan mengikat, asalkan memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KHU Perdata. Jadi, kontrak tidak harus dibuat secara tertulis.
Penyusunan Kontrak
Untuk menyusun suatu kontrak bisnis yang baik diperlukan adanya persiapan atau perencanaan terlebih dahulu. Idealnya sejak negosiasi bisnis persiapan tersebut sudah dimulai.
Penyusunan suatu kontrak bisnis meliputi bebrapa tahapan sejak persiapan atau perencanaan sampai dengan pelaksanaan isi kontrak.
Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Prakontrak
a. Negosiasi;
b. Memorandum of Undersatnding (MoU);
c. Studi kelayakan;
d. Negosiasi (lanjutan).
2. Kontrak
a. Penulisan naskah awal;
b. Perbaikan naskah;
c. Penulisan naskah akhir;
d. Penandatanganan.
3. Pascakontrak
a. Pelaksanaan;
b. Penafsiran;
c. Penyelesaian sengketa.
Sebelum kontrak disusun atau sebelum transaksi bisnis berlangsung, biasanya terlebih dahulu dilakukan negosiasi awal. Negosiasi merupakan suatu proses upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain. Dalam negosiasi inilah proses tawar menawar berlangsung.
Tahapan berikutnya pembuatan Memorandum of Understanding (MoU). MoU merupakan pencatatan atau pendokumentasian hasil negosiasi awal tersebut dalam bentuk tertulis. MoU walaupun belum merupakan kontrak, penting sebagai pegangan untuk digunakan lebih lanjut di dalam negosiasi lanjutan atau sebagai dasar untuk melakukan studi kelayakan atau pembuatan kontrak
Setelah pihak-pihak memperoleh MoU sebagai pegangan atau pedoman sementara, baru dilanjutkan dengan tahapan studi kelayakan (feasibility study, due diligent) untuk melihat tingkat kelayakan dan prospek transaksi bisnis tersebut dari berbagai sudut pandang yang diperlukan misalnya ekonomi, keuangan, pemasaran, teknik, lingkungan, sosial budaya dan hukum. Hasil studi kelayakan ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau tidaknya melanjutkan transaksi atau negosiasi lanjutan. apabila diperlukan, akan diadakan negosiasi lanjutan dan hasilnya dituangkan dalam kontrak.
Dalam penulisan naskah kontrak di samping diperlukan kejelian dalam menangkap berbagai keinginan pihak-pihak, juga memahami aspek hukum, dan bahasa kontrak. Penulisan kontrak perlu mempergunakan bahasa yang baik dan benar dengan berpegang pada aturan tata bahasa yang berlaku. Dalam penggunaan bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing harus tepat, singkat, jelas dan sistematis.
Walaupun tidak ditentukan suatu format baku di dalam perundang-undangan, dalam praktek biasanya penulisan kontrak bisnis mengikuti suatu pola umum yang merupakan anatomi dari sebuah kontrak, sebagai berikut :
(1) Judul;
(2) Pembukaan;
(3) Pihak-pihak;
(4) Latar belakang kesepakatan (Recital);
(5) Isi;
(6) Penutupan.
Judul harus dirumuskan secara singkat, padat, dan jelas misalnya Jual Beli Sewa, Sewa Menyewa, Joint Venture Agreement atau License Agreement. Berikutnya pembukaan terdiri dari kata-kata pembuka, misalnya dirumuskan sebagai berikut :
Yang bertanda tangan di bawah ini atau Pada hari ini Senin tanggal dua Januari tahun dua ribu, kami yang bertanda tangan di bawah ini.
Setelah itu dijelaskan identitas lengkap pihak-pihak. Sebutkan nama pekerjaan atau jabatan, tempat tinggal, dan bertindak untuk siapa. Bagi perusahaan/badan hukum sebutkan tempat kedudukannya sebagai pengganti tempat tinggal. Contoh penulisan identitas pihak-pihak pada perjanjian jual beli sebagai berikut :
1.      Nama ....; Pekerjaan ....; Bertempat tinggal di .... dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri/untuk dan atas nama .... berkedudukan di .... selanjutnya disebut penjual;
2.      Nama ....; Pekerjaan ....; Bertempat tinggal di .... dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri/selaku kuasa dari dan oleh karenanya bertindak untuk atas nama .... berkedudukan di .... selanjutnya disebut pembeli.
Pada bagian berikutnya diuraikan secara ringkas latar belakang terjadinya kesepakatan (recital). Contoh perumusannya seperti ini :
dengan menerangkan penjual telah menjual kepada pembeli dan pembeli telah membeli dari penjual sebuah mobil/sepeda motor baru merek .... tipe .... dengan ciri-ciri berikut ini : Engine No. .... Chasis ...., Tahun Pembuatan .... dan Faktur Kendaraan tertulis atas nama .... alamat .... dengan syarat-syarat yang telah disepakati oleh penjual dan pembeli seperti berikut ini.
Pada bagian inti dari sebuah kontrak diuraikan panjang lebar isi kontrak yang dapat dibuat dalam bentuk pasal-pasal, ayat-ayat, huruf-huruf, angka-angka tertentu. Isi kontrak paling banyak mengatur secara detail hak dan kewajiban pihak-pihak, dan bebagai janji atau ketentuan atau klausula yang disepakati bersama.
Jika semua hal yang diperlukan telah tertampung di dalam bagian isi tersebut, baru dirimuskan penutupan dengan menuliskan kata-kata penutup, misalnya, Demikianlah perjanjian ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya atau kalau pada pembukaan tidak diberikan tanggal, maka ditulis pada penutupan. Misalnya :
Dibuat dan ditandatangani di .... pada hari ini .... tanggal .... Di bagian bawah kontrak dibubuhkan tanda tangan kedua belah pihak dan para saksi (kalau ada). Dan akhirnya diberikan materai. Untuk perusahaan/badan hukum memakai cap lembaga masing-masing.

Istilah-Istilah Hukum Dalam Persidangan

Istilah-Istilah Hukum pada putusan Hakim dalam mengadili perkara, seperti :
 
Pasal yang disebut di dalam persidangan merupakan suatu ketentuan yang dihubungkan atau dikaitkan dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa (Pidana) atau tergugat (Perdata).

Juncto diartikan "dihubungankan/dikaitkan" dapat berupa undang-undang, pasal, ketentuan-ketentuan yang satu dengan undang-undang, pasal, ketentuan-ketentuan yang lainnya dan biasanya disingkat dengan "jo".
 
Misalnya : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, dalam hal ini dapat disingkat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 jo Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1982.

Di dalam suatu persidangan seringkali terdakwa diancam lebih dari 1 (satu) dakwaan maka dibuat ada beberapa dakwaan:
Primair dan Subsidair merupakan tingkatan dakwaan. Primair merupakan dakwaan yang paling berat dan harus dibuktikan terlebih dahulu sedangkan Subsidair Subsidair dakwaan yang lebih ringan.

Misalnya :
Terdakwa terkena 3 kasus :
Primair pasal 340 KUHP merupakan pembunuhan yang direncanakan.
Subsidair pasal 338 KUHP merupakan pembunuhan biasa
Lebih Subsidair pasal 351 KUHP penganiayaan yang menyebabkan matinya orang lain.

Sehingga jika dalam pembuktian terdakwa tidak terbukti melakukan dakwaan Primair maka Jaksa dapat menjerat terdakwa dengan dakwaan Subsidair dan jika terdakwa tidak terbukti melakukan dakwaan Subsider maka Jaksa dapat menjerat dengan dakwaan Lebih Subsidair dan seterusnya.

Eksepsi merupakan sanggahan/keberatan-keberatan terdakwa atau penasehat hukum terdakwa terhadap surat dakwaan tetapi belum menyangkut pokok perkara.

Replik adalah tanggapan dari Jaksa Penuntut Umum terhadap isi dari Eksepsi terdakwa/penasehat hukum terdakwa.

Duplik adalah tanggapan dari terdakwa atau penasehat hukum terdakwa terhadap isi dari dakwaan.

Amar atau diktum yaitu isi dari putusan pengadilan.

Eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan yang harus dilaksanakan oleh terpidana (kasus pidana) tergugat (kasus perdata).

CONTOH JUDUL PROPOSAL HUKUM BISNIS


PROPOSAL HUKUM BISNIS

1.      TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN HAK CIPTA DI INTERNET MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA, 08
2.     KONTRAK PERDAGANGAN MELALUI INTERNET(ELECTRONIC COMMERCE) DITINJAU DARI HUKUM PERJANJIAN, 08
3.    TINJAUAN KEKUATAN PEMBUKTIAN DIGITAL SIGNATURE DALAM SENGKETA PERDATA DITINJAU DARI UU NO 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK, 09
4.    PELAKSANAAN PENGAWASAN MAKANAN YANG BEREDAR PADA KONSUMEN OLEH DINAS KESEHATAN KOTA SURAKARTA (STUDI PELAKSANAAN UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN), 08
5.    PENYELESAIAN KLAIM ASURANSI TKI PADA PT. ASURANSI JASA INDONESIA (Studi Kasus di PT. Asuransi Jasa Indonesia Cabang Yogyakarta), 08
6.    TANGGUNG GUGAT PT PLN (PERSERO) TERHADAP KERUGIAN KONSUMEN YANG DITIMBULKAN AKIBAT PEMADAMAN ALIRAN LISTRIK, 08
7.    TINJAUAN HUKUM PERJANJIAN TERHADAP TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK ATAS WANPRESTASI YANG TERJADI DALAM JUAL BELI SOFTWARE SECARA ELEKTRONIK, 07
8.   GUGATAN GANTI RUGI ATAS KORBAN PENGGUSURAN OLEH PEMERINTAH ATAS DASAR PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PMH),09
9.   ANALISA HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB DALAM PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG LEWAT LAUT (STUDI KASUS PERJANJIAN BONGKAR MUAT), 09
10.PENGATURAN WAKTU KERJA DAN WAKTU ISTIRAHAT SEBAGAI PERLINDUNGAN BAGI   BURUH/PEKERJA (STUDI KASUS DI BEBERAPA PERUSAHAAN), 09

Jadwal Pertandingan Barcelona Liga Spanyol 2012/2013

Jadwal Pertandingan Barcelona Liga Spanyol 2012/2013



              

                                                                                                                                                                20 Agustus 2012 - Barcelona 5 vs 1 Real Sociedad
24 Agu 2012 - Barcelona vs Real Madrid ( Piala Super Spanyol)
25 Agu 2012 - Osasuna vs Barcelona
29 Agu 2012 - Real Madrid vs Barcelona ( Piala Super Spanyol)

1 September 2012 - Barcelona vs Valencia
15 Sep 2012 - Getafe vs Barcelona
29 Sep 2012 - Sevilla vs Barcelona

6 Oktober 2012 - Barcelona vs Real Madrid
20 Okt 2012 - Deportivo La Coruña vs Barcelona
27 Okt 2012 - Rayo Vallecano vs Barcelona

3 November 2012 - Barcelona vs Celta
10 Nov 2012 - RCD Mallorca vs Barcelona
17 Nov 2012 - Barcelona vs Real Zaragoza
24 Nov 2012 - Levante UD vs Barcelona

1 Desember 2012 - Barcelona vs Athletic Bilbao
8 Des 2012 - Real Betis vs Barcelona
15 Des 2012 - Barcelona vs Atlético Madrid
21 Des 2012 - Real Valladolid vs Barcelona

5 Januari 2013 - Barcelona vs RCD Espanyol
12 Jan 2013 - Málaga vs Barcelona
19 Jan 2013 - Real Sociedad vs Barcelona
26 Jan 2013 - Barcelona vs Osasuna

2 Februari 2013 - Valencia vs Barcelona
9 Feb 2013 - Barcelona vs Getafe
16 Feb 2013 - Granada vs Barcelona
23 Feb 2013 - Barcelona vs Sevilla

2 Maret 2013 - Real Madrid vs Barcelona
9 Mar 2013 - Barcelona vs Deportivo La Coruña
16 Mar 2013 - Barcelona vs Rayo Vallecano
30 Mar 2013 - Celta vs Barcelona

6 April 2013 - Barcelona vs RCD Mallorca
13 Apr 2013 - Real Zaragoza vs Barcelona
20 Apr 2013 - Barcelona vs Levante UD
27 Apr 2013 - Athletic Bilbao vs Barcelona

4 Mei 2013 - Barcelona vs Real Betis
11 Mei 2013 - Atlético Madrid vs Barcelona
18 Mei 2013 - Barcelona vs Real Valladolid
28 Mei 2013 - RCD Espanyol vs Barcelona

 
1 Juni 2013 - Barcelona vs Málaga

 
Siaran langsung pertandingan Liga Spanyol bisa disaksikan di Trans TV dan Trans7 sebagai pemegang hak siar Liga Spanyol 2012/2013 di Indonesia.  




 


Legal Drafting

• Secara harfiah legal dafting dapat diterjemahkan secara bebas, adalah penyusunan/perancangan Peraturan Perundang-undangan. Dari pendekatan hukum, Legal drafting adalah kegiatan praktek hukum yang menghasilkan peraturan, sebagai contoh; Pemerintah membuat Peraturan Perundang-undangan; Hakim membuat keputusan Pengadilan yang mengikat publik; Swasta membuat ketentuan atau peraturan privat seperti; perjanjian/kontrak, kerjasama dan lainnya yang mengikat pihak-pihak yang melakukan perjanjian atau kontrak.
• Legal Drafting merupakan konsep dasar tentang penyusunan peraturan perundang-undangan yang berisi tentang naskah akademik hasil kajian ilmiah beserta naskah awal peraturan perundang-undangan yang diusulkan. Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasamya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.
• Dapat disimpulkan kegiatan legal drafting disini adalah dalam rangka pembentukan peraturan-perundangan.
• Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan   perencanaan, penyusunan,  pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
• Sesuai dengan bunyi pasal 1 angka 1  UU No. 12 tahun 2011 di atas, bahwa proses sebuah peraturan menjadi legal dan mempunyai daya ikat atau kekuatan hukum tetap harus melewati beberapa tahap.
• Adanya legal drafting ada hubungannya dengan konsep negara hukum.
• Negara hukum (Wirjono Prodjodikoro) adalah “suatu negara yang di dalam wilayahnya semua alat perlengkapan negara khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintah dalam setiap tindakannya terhadap warganegara dan dalam berhubungan tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan hukum, dan semua orang dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan hukum yang berlaku”.
• Sedangkan menurut Hartono Mardjono, dikatakan negara hukum adalah “bilamana di negara tersebut seluruh warganegara maupun alat-alat perlengkapan dan aparat negaranya, tanpa kecuali dalam segala aktifitasnya tunduk kepada hukum”. (equity dan non-discrimination)
• Tujuan Negara Hukum S. Tasrif: 1) Kepastian hukum (tertib/order); 2) Kegunaan (kemanfaatan/utility); dan 3) Keadilan (justice). Sedangkan menurut Ahmad Dimyati: 1) Pencapaian keadilan, 2) Kepastian hukum, dan 3) Kegunaan (kemanfaatan).

 Dasar-dasar hukum pembentukan peraturan perundang-undangan :
1. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 “Negara Indonesia adalah NEGARA HUKUM”
2. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 “Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai kewenangan membentuk UNDANG-UNDANG”
3. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan PERATURAN PEMERINTAH SEBAGAI PENGGANTI UNDANG-UNDANG”
4. Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 “Presiden menetapkan PERATURAN PEMERINTAH untuk menjalankan UNDANG-UNDANG sebagaimana mestinya”
5. Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 “Pemerintah daerah berhak menetapkan PERATURAN DAERAH dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”
6. UU Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Ilmu perundang-undangan terbagi :
1. Proses perundang-undangan (gezetsgebungsverfahren) : meliputi beberapa tahapan dalam pemnbentukan perundang-undangan seperti tahap persiapan, penetapan, pelaksanaan, penilaian dan pemaduan kembali produk yang sudah jadi.
2. Metode prundang-undangan (gezetsgebungsmethode) : ilmu tentang pembentukan inis norma hukum yang teratur untuk dapat mencapai sasarnannya. Pengacuannya kepada hal-hal yang berhubungan dengan perumusan unsur dan struktur suatu ketentuan dalam norma seperti objek norma, subjek norma, operator norma dan kondisi norma.
3. Teknik perundang-undangan (gezetsgebungstechnic) : Teknik perundang-undangan mengkaji hal-hal yg berkaitan dengan teks suatu perundang-undangan meliputi bentuk luar, bentuk dalam, dan ragam bahasa dari peraturan perundang-undangan.

Beda Peraturan perundang-undangan dengan Undang-undang :
• Peraturan perundang-undangan yaitu setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yg berwenang yg berisi aturan tingkah laku atau mengikat secara umum yang disebut juga undang-undang dalam arti materil.
• Undang-undang yaitu keputusan tertulis sebagai hasil kerja sama antara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif yg berisi aturan tingkah laku yg bersifat atau mengikat umum yang disebut juga undang-undang dalam arti formil.
Kesimpulan :
• Untuk membedakan antara UU dalam arti materil dan formil tidak lain adalah menyangkut organ pembentuk dan isinya.
• Jika organ yg membentuk itu adalah pejabat yg berwenang dan isi berlaku dan mengikat umum maka disebut sbg UU dlm arti materiil.
• Hal ini berarti jikalah ada ketentuan tertulis yg dikeluarkan oleh pejabat yg berwenang namun isinya tidak bersifat dan mengikat umu maka ketentuan tsb tidak dapat disebut sebagai UU dalam arti materil atau perundang-undangan.
• Sedangkan jikalau yang membentuk itu adalah organ negara pemegang kekuasaan legislatif (dalam kontek UUD 45 adalah kerjasama antara pemegang kekuasaan eksekuti dan legislatif) yg isinya berlaku dan mengikat umum, maka produk hukum itu disebut UU dalam arti formil atau cukup disebut UU.
• Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 2 dan 3 UU No  12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerUUan.
Ciri-ciri peraturan perundang-undangan :
1. Peraturan perUUan berupa keputusan tertulis, jadi mempunyai bentuk atau format tertentu.
2. Dibentuk, ditetapkan dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, baik ditingkat pusat maupun di di tingkat daerah. Pejabat yang berwenang yang dimaksud adalah pejabat yang ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku baik berdasarkan atribusi maupun delegasi.
3. Perturan PerUUan tersebut berisi aturan pola tingkah laku.
4. Peraturan PerUUan mengikat secara umum umum, tidak ditujukan kepada seseorang atau individu tertentu (tidak bersifat individual).
5. Peraturan perUUan berlaku secara terus menerus (dauerhafing) sampai diubah, dicabut atau digantikan dengan peraturan perUUan yang baru.
Kelebihan dan kelemahan peraturan perundang-undangan :

• Kelebihan peraturan PerUUan (hukum tertulis) :
1. Mudah dikenali, diketemukan kembali maupun ditelusuri.
2. Lebih memberikan kepastian hukum
3. Memungkinkan untuk diperiksa dan diuji
4. Pembentukan dan pengembangannya dapat direncanakan.

• Kelemahan Peraturan PerUUan (hukum tertulis)
1. Terkesan kaku
2. Kurang lengkap.

LANDASAN-LANDASAN DAN ASAS-ASAS HUKUM DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
Landasan pembentukan peraturan perundang-undangan :
1. Landasan filosofis (filosofische grondslag)
• Rumusan atau norma-normanya mendapatkan pembenaran (rechtvaardging) jika dikaji secara filosofis, dan
• Sesuai dengan ciata-cita kebenaran (idee der waarheid), cita keadilan (idee der gerechttigheid), dan cita kesusilaan (idee der zedelijkheid).
2. Landasan sosiologis (sociologische grondslag)
• Dikatakan mempunyai landaan sosiologis bila ketentuan2nya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran masyarakat. Hal ini penting agar UU ditaati dan berlaku efektif dimasyarakat.
3. Landasan yuridis (juridische grondslag)
• Landasan yuridis dimaksud meliputi arti formil dan materil. Secara formil adalah landasan yuridis yang memberikan kewenangan (bevogdheid) bagi instansi tertentu untuk membentuk peraturan perundang-undangan tertentu. Sedangkan secar materil adalah landasan yuridis untuk segi isi (materi) yang harus diatur dalam dalam suatu peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya.
Contoh : dalam konsideran menimbang (grondslag) dikenal juga dengan istilah konsideran factual yang berisikan pertimbangan-pertimbangan dan filosofis dan sosiologis. Selanjutnya konsideran mengingat (rechtgrond) dikenal juga denagan istilah konsideran yuridis berisikan dasar-dasar hukum tertinggi dan sederajat yang dipergunakan untuk pijakan legalitas.
LANDASAN PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. Prinsip-Prinsip Peraturan Perundang-Undangan
1. Dasar Peraturan Perundang-Undangan Selalu Peraturan Perundang-Undangan
• Landasan atau dasar Peraturan Perundang-Undangan secara yuridis selalu Peraturan Perundang-Undangan dan tidak ada hukum lain yang dijadikan dasar yuridis kecuali Peraturan Perundang-Undangan. Dalam menyusun Peraturan Perundang-Undangan harus ada landasan yuridis secara jelas. Walaupun ada hukum lain selain Peraturan Perundang-Undangan namun hanya sebatas dijadikan sebagai bahan dalam menyusun Peraturan Perundang-Undangan. Contoh hukum lain seperti hukum adat, yurisprudensi, dan sebagainya.
2. Hanya Peraturan Perundang-Undangan Tertentu Saja yang Dapat Dijadikan Landasan Yuridis
• Landasan yuridis penyusunan Peraturan Perundang-Undangan yaitu hanya Peraturan Perundang-Undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi dan terkait langsung dengan Peraturan Perundang-Undangan yang akan disusun. Oleh karena itu tidak dimungkinkan suatu Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah dijadikan dasar yuridis dalam menyusun Peraturan Perundang-Undangan. Kemudian Peraturan Perundang-Undangan yang tidak terkait langsung juga tidak dapat dijadikan dasar yuridis Peraturan Perundang-Undangan.
3. Peraturan Perundang-Undangan yang Masih Berlaku Hanya Dapat Dihapus, Dicabut, atau Diubah Oleh Peraturan Perundang-Undangan yang Sederajat atau yang Lebih Tinggi
• Dengan prinsip tersebut, maka sangat penting peranan tata urutan atau hirarki Perundang-Undangan dan dengan prinsip tersebut tidak akan mengurangi para pengambil keputusan untuk melakukan penemuan hukum melalui penafsiran (interpretasi), pembangunan hukum maupun penghalusan hukum terhadap Peraturan Perundang-Undangan.
4. Peraturan Perundang-Undangan Baru mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan Lama
• Apabila terjadi pertentangan antara Peraturan Perundang-Undangan yang sederajat, maka yang diberlakukan adalah Peraturan Perundang-Undangan yang terbaru. Dalam prakteknya pada prinsip tersebut temyata tidak mudah diterapkan, karena banyak Peraturan perundang-Undangan yang sederajat saling bertentangan materi muatannya namun malahan sering dilanggar oleh para pihak yang memiliki kepentingan.
5. Peraturan Perundang-Undangan yang Lebih Tinggi Mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan yang Lebih Rendah
• Apabila terjadi pertentangan antara Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi tingkatannya dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah, maka Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi yang diberlakukan, dan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah dikesampingkan.
6. Peraturan Perundang-Undangan Yang Bersifat Khusus Mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan Yang Bersifat Umum
• Apabila terjadi pertentangan antara Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat khusus dengan Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat umum yang sederajat tingkatannya, maka yang diberlakukan adalah Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat khusus (lex spesialis derogat lex generalis).
7. Setiap Jenis Peraturan Perundang-Undangan Materi Muatannya Berbeda
• Setiap jenis Peraturan Perundang-Undangan materi muatannya harus saling berbeda satu sama lain yang berarti bahwa materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi (terdahulu) tidak boleh diatur kembali di dalam materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah. Penentuan materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak mengalami kesulitan apabila materi muatan tertentu dalam Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi tingkatannya jelas-jelas mendelegasikan kepada Peraturan perundang-Undangan yang lebih rendah.
B. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
1. Asas Formil
Asas formil dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yaitu meliputi:
a. Kejelasan tujuan, yaitu setiap pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan dan manfaat yang jelas untuk apa dibuat;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga atau organ pembentuk Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga atau organ yang tidak berwenang;
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu perumusan materi muatan dalam setiap Peraturan Perundang-undangan harus memiliki kesesuaian dengan jenis perundang-undangan;
d. Dapat dilaksanakan, yaitu setiap pembentukan Peraturan Perundangundangan harus didasarkan pada perhitungan bahwa Peraturan Perundangundangan yang dibentuk nantinya dapat berlaku secara efektif di masyarakat karena telah mendapat dukungan baik secara filosofis, yuridis; maupun sosiologis sejak tahap penyusunannya;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap Peraturan Perundangundangan yang dibentuk benar-benar mempunyai dayaguna dan hasil guna berlaku di dalam masyarakat, berfungsi secara efektif dalam memberikan ketertiban, ketenteraman, dan kedamaian bagi masyarakat ;
f. Kejelasan rumusan, yaitu; bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundangundangan, sistematika, dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interprestasi dalam pelaksanaannya;
g. Keterbukaan, yaitu tidak adanya muatan materi Peraturan Perundangundangan yang disembunyikan atau bersifat semu, sehingga dapat menimbulkan berbagai penafsiran dalam praktek/implementasinya.
2. Asas materil
Materi Peraturan Perundang-undangan mengandung asas:
a. Pengayoman, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi mengayomi seluruh masyarakat dan memberikan perlindungan hak asasi manusia yang hakiki;
b. Kemanusiaan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus bersifat manusiawi dan menghargai harkat dan martabat manusia serta tidak boleh membebani masyarakat di luar kemampuan masyarakat itu sendiri;
c. Kebangsaan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang berasaskan musyawarah dalam mengambil keputusan;
d. Kekeluargaan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas musyawarah mufakat dalam setiap penyelesaian masalah yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan;
e. Kenusantaraan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila atau wilayah/daerah tertentu, sesuai dengan jenis Peraturan Perundangundangan tersebut;
f. Kebhinnekatunggalikaan, yaitu setiap perencanaan, pembuatan, dan penyusunan serta materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, dan golongan khususnya yang menyangkut masalah-masalah yang sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
g. Keadilan yang merata, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan bagi setiap warga negara tanpa kecuali;
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan materi muatannya tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat diskriminatif;
i. Ketertiban dan kepastian hukum; yaitu setiap Peraturan Perundangundangan harus dapat menimbulkan kepastian hukum dan ketertiban dalam masyarakat;
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan materi muatannya atau isinya harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat, serta bangsa dan negara.
C. Asas Pemberlakukan Peraturan Perundang-undangan
• Secara umum ada beberapa asas atau dasar agar supaya Peraturan Perundangundangan berlaku dengan baik dan efektif, dalam arti bahwa Peraturan Perundang-undangan tersebut berlaku dengan baik (sempurna) dan efektif dalam teknik penyusunannya.
• Ada 3 (tiga) asas pemberlakuan Peraturan Perundang-undangan yakni asas yuridis, asas filosofis, asas sosiologis. Teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan merupakan hal lain yang tidak mempengaruhi keberlakuan Peraturan Perundangundangan, namun menyangkut baik atau tidaknya rumusan suatu Peraturan Perundang-undangan.
• Asas yuridis tersebut sangat penting artinya dalam penyusunan Peraturan Perundang-undangan, yaitu yang berkaitan dengan :
1. Keharusan adanya kewenangan dari pembuat Peraturan perundangundangan, yang berarti bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang.
2. Keharusan adanya kesesuaian antara jenis dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan. Ketidaksesuaian jenis tersebut dapat menjadi alasan untuk membatalkan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat.
3. Keharusan mengikuti tata cara atau prosedur tertentu. Apabila prosedur/ tata cara tersebut tidak ditaati, maka Peraturan Perundang-undangan tersebut batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan mengikat.
4. Keharusan tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
a. Asas filosofis Peraturan Perundang-undangan adalah dasar yang berkaitan dengan dasar filosofis/ideologi negara, dalam arti bahwa Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan secara sungguh-sungguh nilainilai (citra hukum) yang terkandung dalam Pancasila. Setiap masyarakat mengharapkan agar hukum itu dapat menciptakan keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan.
b. Asas sosiologis Peraturan Perundang-undangan adalah dasar yang berkaitan dengan kondisi/kenyataan yang hidup dalam masyarakat berupa kebutuhan atau tuntutan yang dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan dan harapan masyarakat. Oleh karena itu Peraturan Perundang-undangan yang telah dibuat diharapkan dapat diterima oleh masyarakat dan mempunyai daya-laku secara efektif. Peraturan Perundang-undangan yang diterima oleh masyarakat secara wajar akan mempunyai daya laku yang efektif dan tidak begitu banyak memerlukan pengarahan institusional untuk melaksanakannya.
c. Soerjono Soekanto-Purnadi Purbacaraka mencatat dua landasan teoritis sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum, yaitu :
1. Teori Kekuasaan (Machttheorie) secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak diterima oleh masyarakat;
2. Teori Pengakuan, (Annerkenungstheorie). Kaidah hukum berlaku berdasarkan penerimaan dari masyarakat tempat hukum itu berlaku.

JENIS DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN LEMBAGA PEMBENTUKNYA
  1. JENIS HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
  • Tata urutan peraturan perundang-undangan menurut  TAP MPrS No.XX/MPRS/1966 jo TAP MPR No. V/MPR/1973 sebagai berikut :
  1. UUD 1945
  2. TAP MPR
  3. UU/PERPU
  4. Peraturan Pemerintah
  5. Keputusan Presiden
  6. Peraturan pelaksana lainnya yang meliputi Peraturan menteri, instruksi menteri dan lain-lain.
  • Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Berdasarkan TAP MPR tersebut, jenis Peraturan Perundang-Undangan adalah:
  1. Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia;
  3. Undang-undang;
  4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
  5. Peraturan Pemerintah;
  6. Keputusan Presiden;
  7. Peraturan Daerah.
  • Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut:
  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945;
  2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
  3. Peraturan Pemerintah;
  4. Peraturan Presiden;
  5. Peraturan Daerah.
  • Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud diatas meliputi:
  1. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur;
  2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota;
  3. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat dengan itu, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.
  4. Selain Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah disebutkan diatas, dan keberadaanya diakui dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, yaitu Peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat
  • Selanjutnya setelah berlakunya UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerUUan, hirarki diatas mengalami perubahan sebagai berikut :
    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945;
    2. Ketetapan MPR  (TAP MPR)
    3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
    4. Peraturan Pemerintah;
    5. Peraturan Presiden;
    6. Peraturan Daerah Provinsi, dan
    7. Peraturan Daerah kabupaten/kota .
  • Penyebutan jenis Peraturan Perundang-undangan di atas sekaligus merupakan hirarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan. Artinya, suatu Peraturan Perundang-undangan selalu berlaku, bersumber dan berdasar pada Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi lagi, dan seterusnya sampai pada Peraturan Perundang-undangan yang paling tinggi tingkatannya. Konsekuensinya, setiap Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih stinggi.