Mendirikan Perseroan Terbatas

Mendirikan Perseroan Terbatas

Pada prinsipnya Perseroan Terbatas (PT) merupakan suatu perikatan, sehingga pendirian Perseroan Terbatas harus dilakukan oleh 2 orang atau lebih. Perikatan itu dilakukan dengan cara pembuatan Akta Pendirian dengan sebuah akta Notaris. Akta Pendirian PT merupakan akta yang dibuat dihadapan Notaris, yang berisi keterangan mengenai identitas dan kesepakatan para pihak untuk mendirikan Perseroan Terbatas beserta Anggaran Dasarnya. Untuk memperoleh status Badan Hukum, sebuah Perseroan Terbatas wajib memperoleh pengesahan dari Menteri – Menteri Hukum dan HAM RI. Dalam Akta Pendirian, setiap pendiri wajib mengambil bagian saham pada saat pendiriannya.
Menurut Undang-undang Perseroan Terbatas (UU PT), Akta Pendirian memuat “Anggaran Dasar” dan “keterangan lain” yang berkaitan dengan pendirian Perseroan. Anggaran Dasar merupakan deskripsi tentang Perseroan, yang sekurang-kurangnya memuat tentang:
  1. Nama dan tempat kedudukan Perseroan.
  2. Maksud, tujuan, dan kegiatan usaha Perseroan.
  3. Jangka waktu berdirinya Perseroan.
  4. Besarnya modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor.
  5. Jumlah saham, klasifikasi saham dan jumlah tiap klasifikasinya (jika ada), hak-hak yang melekat pada saham, serta nilai nominal setiap saham.
  6. Nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris.
  7. Penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS.
  8. Tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris.
  9. Tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen.
Ketentuan diatas merupakan keterangan minimal yang wajib dicantumkan dalam Anggaran Dasar. Selain ketentuan tersebut, Anggaran Dasar juga dapat memuat ketentuan lain selama tidak bertentangan dengan UU PT. Selain Anggaran Dasar, Akta Pendirian juga dapat memuat keterangan lain yang berupa identitas para Pendiri, Direksi, Dewan Komisaris, dan para Pemegang Saham. Dalam pembuatan Akta Pendirian, pendiri datang sendiri menghadap Notaris, atau bisa juga diwakili oleh orang lain dengan surat kuasa.
Nama Perseroan Terbatas
Sebelum para Pendiri mengajukan permohonan pengesahan Perseroan Terbatas sebagai Badan Hukum, terlebih dahulu para Pendiri mengajukan persetujuan nama Perseroan Terbatas kepada Menteri. Nama Perseroan Terbatas merupakan “nama diri” Perseroan yang bersangkutan layaknya nama seseorang sebagai subyek hukum. Sebuah nama Perseroan harus didahului dengan frase “Perseroan Terbatas” atau disingkat “PT”. Untuk Perseroan Terbatas Terbuka, selain didahului dengan frase “PT” pada bagian akhir nama Perseroan juga wajib ditambah kata singkatan “Tbk”. Menurut UU PT, Perseroan Terbatas tidak boleh menggunakan nama yang:
  1. Telah digunakan oleh Perseroan lain, atau memiliki persamaan pada pokoknya dengan nama Perseroan.
  2. Sama atau mirip dengan merek terkenal sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Merek – kecuali mendapat izin dari pemiliknya.
  3. Bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan.
  4. Sama atau mirip atau dapat memberikan kesan adanya kaitan antara Perseroan dengan nama lembaga negara, lembaga pemerintah, atau lembaga internasional – kecuali mendapat izin dari yang bersangkutan.
  5. Tidak sesuai dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan, atau hanya menunjukkan maksud dan tujuan saja tanpa nama diri.
  6. Hanya merupakan nama suatu tempat.
  7. Ditambah kata atau singkatan kata yang mempunyai arti sebagai perseroan terbatas, badan hukum atau persekutuan perdata.
  8. Terdiri atas angka atau rangkaian angka, huruf atau rangkaian huruf, yang tidak membentuk kata.
Setelah para Pendiri menentukan nama Perseroan Terbatas berdasarkan kriteria yang telah ditentukan, selanjutnya para Pendiri mengajukan permohonan nama Perseroan tersebut kepada Menteri untuk mendapatkan persertujuan nama Perseroan Terbatas. Pengajuan nama Perseroan Terbatas itu dilakukan sendiri oleh Pendiri, atau jika Pendiri tidak melakukannya sendiri, Pendiri hanya dapat diwakili oleh Notaris berdasarkan surat kuasa.
Permohonan persetujuan pemakaian nama Perseroan Terbatas dapat diajukan bersamaan dengan permohonan pengesahan sebagai Badan Hukum, atau bisa juga dilakukan lebih dahulu secara terpisah. Persetujuan mengenai pemakaian nama Perseroan Terbatas yang diajukan lebih dahulu dari permohonan pengesahan Badan Hukumnya diberikan dalam jangka waktu paling lama 15  hari setelah permohonan itu diterima oleh Menteri. Dalam hal permohonan itu ditolak, penolakannya harus diberitahukan kepada pemohon secara tertulis beserta alasannya, juga dalam jangka waktu 15 hari sejak pengajuan permohonan.
Dalam hal permohonan pemakaian nama Perseroan Terbatas disetujui, Pemohon wajib mengajukan permohonan pengesahan Perseroan sebagai Badan Hukum dalam jangka waktu paling lama 60  hari sejak tanggal persetujuan tersebut. Jika permohonan pengesahan sebagai Badan Hukum tidak diajukan dalam jangka waktu 60 hari, maka persetujuan pemakaian nama Perseroan yang diberikan menjadi batal.
Pengesahan Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum
Setelah Nama Perseroan Terbatas disetujui oleh Menteri, selanjutnya para Pendiri mengajukan permohonan kepada Menteri untuk memperoleh Keputusan Menteri mengenai pengesahan Perseroan Terbatas sebagai Badan Hukum. Permohonan itu diajukan secara elektronik melalui jasa teknologi informasi sistem administrasi badan hukum (Sisminbakum), dengan mengisi formast isian yang telah ditentukan. Format isian itu memuat sekurang-kurangnya:
  1. Nama dan tempat kedudukan Perseroan.
  2. Jangka waktu berdirinya Perseroan.
  3. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan.
  4. Jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor.
  5. Alamat lengkap Perseroan.
Permohonan tersebut harus diajukan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak tanggal Akta Pendirian ditandatangani – dan dilengkapi dengan keterangan mengenai dokumen pendukung. Jika permohonan itu tidak diajukan dalam jangka waktu tersebut maka Akta Pendirian Perseroan menjadi batal sejak lewatnya jangka waktu. Dengan lewatnya jangka waktu tersebut, Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum itu bubar secara hukum dan pemberesannya dilakukan sendiri oleh para Pendiri.
Apabila format isian dan dokumen pendukung dalam permohonan itu telah sesuai dengan jangka waktunya dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, Menteri langsung menyatakan tidak berkeberatan atas permohonan yang diajukan. Pernyataan itu disampaikan secara elektronik. Sebaliknya, apabila tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka Menteri langsung memberitahukan penolakan beserta alasannya itu kepada Pemohon, juga penyampaian itu dilakukan secara elektronik.
Dalam jangka waktu paling lama 30 hari sejak tanggal pernyataan tidak keberatan dari Menteri, Pendiri wajib menyampaikan secara fisik surat permohonan beserta dokumen pendukungnya. Sebailknya, jika jangka waktu itu telah lewat dan Pendiri tidak menyerahkan surat permohonan dan dokumen pendukungnya, Menteri langsung memberitahukan hal tersebut secara elektronik dan pernyataan tidak keberatannya menjadi gugur – Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI Nomor: M-01.HT.01.01.Tahun 2001. Dokumen pendukung itu meliputi:
  1. Salinan Akta Pendirian Perseroan.
  2. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Perseroan.
  3. Bukti Pembayaran uang muka pengumuman Akta Pendirian Perseroan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dari kantor Percetakan Negara Republik Indonesia.
  4. Bukti Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
  5. Bukti Setoran Modal dari Bank.
Apabila ketentuan-ketentuan diatas  telah terpenuhi, selanjutnya Menteri dalam jangka waktu 14 hari akan menerbitkan Surat Keputusan tentang pengesahan Perseroan sebagai Badan Hukum.
Perbuatan Hukum Sebelum Perseroan Memperoleh Status Badan Hukum
Adakalanya sebelum Perseroan Terbatas didirikan (sebelum Perseroan Terbatas memperoleh status badan hukum), para Pendiri melakukan perbuatan-perbuatan hukum pendahuluan dengan maksud mengikat Perseroan. Misalnya, melakukan penyetoran modal atau membuat perjanjian dengan pihak lain atas nama Perseroan. Perbuatan-perbuatan tersebut dapat mengikat Perseroan apabila disetujui oleh para Pendiri atau RUPS.
Penyetoran saham dapat dilakukan oleh calon Pendiri sebelum Perseroan didirikan, namun perbuatan tersebut harus dicantumkan dalam Akta Pendirian pada saat pendiriannya. Bila penyetoran itu dinyatakan dalam akta yang bukan akta otentik, maka akta tersebut dilekatkan pada akta pendirian. Sebaliknya, jika penyetoran itu dilakukan berdasarkan akta otentik, maka nomor, tanggal dan nama serta tempat kedudukan Notaris yang membuat akta otentik tersebut disebutkan dalam Akta Pendirian. Jika ketentuan-ketentuan itu tidak dipenuhi, maka perbuatan hukum tersebut tidak mengikat Perseroan.
Demikian pula dengan perbuatan hukum yang dilakukan oleh calon Pendiri untuk kepentingan Perseroan yang belum didirikan, akan mengikat Perseroan itu setelah menjadi Badan Hukum apabila RUPS pertama Perseroan secara tegas menyatakan menerima atau mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum tersebut. RUPS pertama itu harus diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 60 hari setelah Perseroan memperoleh statusnya sebagai Badan Hukum. Keputusan RUPS adalah sah apabila RUPS dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili semua saham dengan hak suara dan keputusan itu disetujui dengan suara bulat. Apabila RUPS tidak diselenggarakan dalam jangka waktu tersebut, atau RUPS tidak berhasil mengambil keputusan dengan kuorum dan suara bulat sebagaimana ditentukan, maka setiap calon Pendiri yang melakukan perbuatan hukum bertanggung jawab secara pribadi atas segala hak dan kewajiban yang timbul.

Upaya Hukum


UPAYA HUKUM

PENGERTIAN
Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim.
Dalam teori dan praktek kita mengenal ada 2 (dua) macam upaya hukum yaitu, upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Perbedaan yang ada antara keduanya adalah bahwa pada azasnya upaya hukum biasa menangguhkan eksekusi  (kecuali bila terhadap suatu putusan dikabulkan tuntutan serta mertanya), sedangkan upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan eksekusi.

UPAYA HUKUM BIASA
Upaya hukum biasa terdiri dari : banding, kasasi dan verzet.
1.    BANDING
PENGERTIAN
Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri. Para pihak mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan.
Sesuai azasnya dengan diajukannya banding maka pelaksanaan isi putusan Pengadilan Negeri belum dapat dilaksanakan, karena putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap sehingga belum dapat dieksekusi, kecuali terhadap putusan uit voerbaar bij voeraad.
DASAR HUKUM
Banding diatur dalam pasal 188 s.d. 194 HIR (untuk daerah Jawa dan Madura) dan dalam pasal 199 s.d. 205 RBg (untuk daerah di luar Jawa dan Madura). Kemudian berdasarkan  pasal 3 Jo pasal 5 UU No. 1/1951 (Undang-undang Darurat No. 1/1951), pasal188 s.d. 194 HIR dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU Bo. 20/1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.
Keputusan pengadilan yang dapat dimintakan banding hanya keputusan pengadilan yang berbentuk Putusan bukan penetapan, karena terhadap penetapan upaya hukum biasa yang dapat diajukan hanya kasasi.
TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN BANDING
Tenggang waktu pernyataan mengajukan banding adalah 14 hari sejak putusan dibacakan bila para pihak hadir atau 14 hari pemberitahuan putusan apabila salah satu pihak tidak hadir. Ketentuan ini diatur dalam pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 20/1947 jo pasal 46 UU No. 14/1985. Dalam praktek dasar hukum yang biasa digunakan adalah pasal 46 UU No. 14 tahun 1985.
Apabila jangka waktu pernyatan permohonan banding telah lewat maka terhadap permohonan banding yang diajukan akan ditolak oleh Pengadilan Tinggi karena terhadap putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dianggap telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi.
Pendapat diatas dikuatkan oleh Putusan MARI No. 391 k/Sip/1969, tanggal 25 Oktober 1969, yaitu bahwa Permohonan banding yang diajukan melalmpaui tenggang waktu menurut undang-undang tidak dapat diterima dan surat-surat yang diajukan untuk pembuktian dalam pemeriksaan banding tidak dapat dipertimbangkan. Akan tetapi bila dalam hal perkara perdata permohonan banding diajukan oleh lebih dari seorang sedang permohonan banding hanya dapat dinyatakan diterima untuk seorang pembanding, perkara tetap perlu diperiksa seluruhnya, termasuk kepentingan-kepentingan mereka yang permohonan bandingnya tidak dapat diterima (Putusan MARI No. 46 k/Sip/1969, tanggal 5 Juni 1971).
PROSEDUR MENGAJUKAN PERMOHONAN BANDING
1.    Dinyatakan dihadapan Panitera Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan terlebih dahuku membayar lunas biaya permohonan banding.
2.    Permohonan banding dapat diajukan tertulis atau lisan (pasal 7 UU No. 20/1947) oleh yang berkepentingan maupun kuasanya.
3.    Panitera Pengadilan Negeri akan membuat akte banding yang memuat hari dan tanggal diterimanya permohonan banding dan ditandatangani oleh panitera dan pembanding. Permohonan banding tersebut dicatat dalam Register Induk Perkara Perdata dan Register Banding Perkara Perdata.
4.    Permohonan banding tersebut oleh panitera diberitahukan kepada pihak lawan paling lambat 14 hari setelah permohonan banding diterima.
5.    Para pihak diberi kesempatan untuk melihat surat serta berkas perkara di Pengadilan Negeri dalam waktu 14 hari.
6.    Walau tidak harus tetapi pemohon banding berhak mengajukan memori banding sedangkan pihak Terbanding berhak mengajukan kontra memori banding. Untuk kedua jenis surat ini tidak ada jangka waktu pengajuannya sepanjang perkara tersebut belum diputus oleh Pengadilan Tinggi. (Putusan MARI No. 39 k/Sip/1973, tanggal 11 September 1975).
7.    Pencabutan permohonan banding tidak diatur dalam undang-undang sepanjang belum diputuskan oleh Pengadilan Tinggi pencabutan permohonan banding masih diperbolehkan.

2.    KASASI
PENGERTIAN
Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Tinggi. Para pihak dapat mengajukan kasasi bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung.
Kasasi berasal dari perkataan “casser” yang berarti memecahkan atau membatalkan, sehingga bila suatu permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dibawahnya  diterima oleh Mahkamah Agung, maka berarti putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukumnya.
Pemeriksaan kasasi hanya meliputi seluruh putusan hakim yang mengenai hukum, jadi tidak dilakukan pemeriksaan ulang mengenai duduk perkaranya sehingga pemeriksaaan tingkat kasasi tidak boleh/dapat dianggap sebagai pemeriksaan tinggak ketiga.
ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN KASASI
Alasan mengajukan kasasi menurut pasal 30 UU No. 14/1985 antara lain :
1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
Tidak bewenangan yang dimaksud berkaitan dengan kompetensi relatif dan absolut pengadilan, sedang melampaui batas bisa terjadi bila pengadilan mengabulkan gugatan melebihi yang diminta dalam surat gugatan.
2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
Yang dimaksud disini adalah kesalahan menerapkan hukum baik hukum formil maupun hukum materil, sedangkan melanggar hukum adalah penerapan hukum yang dilakukan oleh Judex facti salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku atau dapat juga diinterprestasikan penerapan hukum tersebut tidak tepat dilakukan oleh judex facti.
3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh pertauran
perundang-undangan  yang mengancam kelalaian itu dengan
batalnya putusan yang bersangkutan.
Contohnya dalam suatu putusan tidak terdapat irah-irah

TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN KASASI
Permohonan kasasi harus sedah disampaikan dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan atau penetepan pengadilan yang dimaksud diberitahukan kepada Pemohon (pasal 46 ayat(1) UU No. 14/1985), bila tidak terpenuhi maka permohonan kasasi tidak dapat diterima.
PROSEDUR MENGAJUKAN PERMOHONAN KASASI
1.    Permohonan kasasi disampaikan oleh pihak yang berhak baik secara tertulis atau lisan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut dengan melunasi biaya kasasi.
2.    Pengadilan Negeri akan mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, dan hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampurkan pada berkas (pasal 46 ayat (3) UU No. 14/1985)
3.    Paling lambat 7 hari setelah permohonan kasasi didaftarkan panitera Pengadilan Negeri memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan (pasal 46 ayat (4) UU No. 14/1985)
4.     Dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan kasasi dicatat dalam buku daftar pemohon kasasi wajib membuat memori kasasi yang berisi alasan-alasan permohonan kasasi (pasal 47 ayat (1) UU No. 14/1985)
5.    Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan salinan memori kasasi pada lawan paling lambat 30 hari (pasal 47 ayat (2) UU No. 14/1985).
6.    Pihak lawan berhak mengajukan kontra memori kasais dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasai (pasal 47 ayat (3) UU No. 14/1985)
7.    Setelah menerima memori dan kontra memori kasasi dalam jangka waktu 30 hari Panitera Pengadilan Negeri harus mengirimkan semua berkas kepada Mahkamah Agung (pasal 48 ayat (1) UU No. 14/1985)

3.    VERZET
PENGERTIAN
Verzet merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri.
PROSEDUR MENGAJUKAN VERZET , pasal 129 ayat (1) HIR
1.    Dalam waktu 14 hari setelah putusan verstek itu diberitahukan kepada tergugat sendiri, jika putusan tidak diberitahukan kepada tergugat sendiri maka :
2.    Perlawanan boleh diterima sehingga pada hari kedelapan setelah teguran (aanmaning) yang tersebut dalam pasal 196 HIR atau;
3.    Dalam delapan (8) hari setelah permulaan eksekusi (pasal 197 HIR).
Dalam prosedur verzet kedudukan para pihak tidak berubah yang mengajukan perlawanan tetap menjadi tergugat sedangyang dilawan tetap menjadi Penggugat yang harus memulai dengan pembuktian.
Verzet dapat diajukan oleh seorang Tergugat yang dijatuhi putusan verstek, akan tetapi upaya verzet hanya bisa diajukan satu kali bila terhadap upaya verzet ini tergugat tetap dijatuhi putusan verstek maka tergugat harus menempuh upaya hukum banding.
UPAYA HUKUM LUAR BIASA
1.    PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP
Upaya hukum peninjauan kembali (request civil) merupakan suatu upaya agar putusan pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap (inracht van gewijsde), mentah kembali. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi).
Peninjauan kembali menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., merupakan upaya hukum terhadap putusan tingkat akhir dan putusan yang dijatuhkan di luar hadir tergugat (verstek), dan yang tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan. 
Peninjauan kembali (Request Civil) tidak diatur dalam HIR, melainkan diatur dalam RV (hukum acara perdata yang dahulu berlaku bagi golongan eropa)  pasal 385 dan seterusnya. Dalam perundang-undangan nasional, istilah Peninjauan Kembali disebut dalam Pasal 15 UU No. 19/1964 dan pasal 31 UU No. 13/1965.
Perbedaan yang terdapat antara Peninjauan Kembali (PK) yang dimaksud oleh perundang-undangan nasional dengan Request Civil  (RC) antara lain, sebagai berikut:
1)   Bahwa PK merupakan wewenang penuh dari Mahkamah Agung, sedangkan RC digantungkan pada putusan yang mana dimohonkan agar dibatalkan.
2)   Akibatnya adalah bahwa putusan PK adalah putusan dalam taraf pertama dan terakhir, sedangkan yang menyangkut RC masih ada kemungkinan untuk banding dan kasasi.
3)   Bahwa PK dapat diajukan oleh yang berkepentingan, sedangkan RC hanya oleh mereka yang pernah menjadi pihak dalam perkara tersebut.
Dalam perkembangannya sekarang Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 66-75 UU No. 14 tahun 1985.


ALASAN PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI
Berdasarkan pasal 67 UU No. 14/1985, jo Per MA No. 1/1982. permohonan pinjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap hanya dapat diajukan bila berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
a)    Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus, atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
b)   Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan.
c)    Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.
d)   Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya, telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
e)    Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
f)     Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali menurut pasal 68 ayat (1) UU No. 14/1985 adalah hanya pihak yang berperkara sendiri atau ahli warisnya, atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Dari pasal tersebut jelas terlihat bahwa orang ketiga bukan pihak dalam perkara perdata tersebut tidak dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali.
Tenggang waktu mengajukan permohonan peninjauan kembali diatur dalam pasal 69 UU No. 14/1985.
PROSEDUR PENGAJUAN PERMOHONAN KEMBALI
1)   Permohonan kembali diajukan oleh pihak yang berhak kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama.
2)   Membayar biaya perkara.
3)   Permohonan Pengajuan Kembli dapat diajukan secara lisan maupun tertulis.
4)   Bila permohonan diajukan secara tertluis maka harus disebutkan dengan jelas alasan yang menjadi dasar permohonannnya dan dimasukkan ke kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama (Pasal 71 ayat (1) UU No. 14/1985)
5)   Bila diajukan secara lisan maka ia dapat menguraikan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau dihadapan hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri tersebut, yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut (Pasal 71 ayat (2) UU No. 14/1985)
6)   Hendaknya surat permohonan peninjauan kembali disusun secara lengkap dan jelas, karena permohonan ini hanya dapat  diajukan sekali.
7)   Setelah Ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan peninjauan kembali maka panitera berkewajiban untuk memberikan atau mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon paling lambat 14 hari dengan tujuan agar dapat diketahui dan dijawab oleh lawan (pasal 72 ayat (1) UU No. 14/1985)
8)   Pihak lawan hanya punya waktu 30 hari setelah tanggal diterima salinan permohonan untuk membuat jawaban bila lewat maka jawaban tidak akam dipertimbangkan (pasal 72 ayat (2) UU No. 14/1985).
9)   Surat jawaban diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang oleh panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diteimanya untuk selanjutnya salinan jawaban disampaikan kepada pemohon untuk diketahui (pasal 72 ayat (3) UU No. 14/1985).
10)permohonan peninjauan kembali lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya dikirimkan kepada Mahkamah Agung paling lambat 30 hari (pasal 72 ayat (4) UU No. 14/1985).
11)Pencabutan permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan sebelum putusan diberikan, tetapi permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali (pasal 66 UU No. 14/1985)


2.    DERDEN VERSET
Merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupak perlawanan pihak ketiga yang bukan pihak dalam perkara yang bersangkutan, karena merasa dirugikam oleh putusan pengadilan. Syarat mengajukan derden verzet ini adalah pihak ketiga tersebut tidak cukup hanya punya kepentingan saja tetapi hak perdatanya benar-benar telah dirugikan oleh putusan tersebut. Secara singkat syarat utama mengajukan derden verzet adalah hak milik pelawan telah terlanggar karena putusan tersebut.
Dengan mengajukan perlawanan ini pihak ketiga dapat mencegah atau menangguhkan pelaksanaan putusan (eksekusi).



Hukum Pembuktian


Hukum Pembuktian
DASAR HUKUM/PENGATURAN
1.    Hierziene Inlandse Reglement (HIR)
Stb. 1941 No. 44  (untuk jawa dan Madura)
2.    Rechtreglement Buitengewesten (RBg)
Stb. 1927 No. 227 (untuk luar jawa dan Madura)
3.    Reglement op de Burgelijke Rechtvordering (Rv)
Stb. 1847 No. 52 dan Stb. 1848 No. 63
4.    Buku ke-4 KUHPerdata (Stb. 1847 No. 23)
5.    Ketentuan setelah Proklamasi Kemerdekaan seperti :
a.    UU No. 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
b.    UU No. 2/1986 tentang Peradilan Umum.
c.     UU No. 14/1985 tentang MA. RI

TEORI
1.    Teori yang bersifat SUBYEKTIF
Dalil-dalil yang didasarkan pada pelanggaran hak subjektif atau siapa yang menyangkal adanya hak Subyektif harus membuktikan tiadanya hak subyektif tersebut.
2.    Teori yang bersifat OBYEKTIF
Dalil-dalil yang didasarkan pada hukum objektif/ UU
3.    Teori yang bersifat KEPATUTAN
Kedudukan Penggugat dan Tergugat sama (Equality before the law)
4.    Teori HUKUM ACARA
Asas “ Audi et Alteram Partem”
5.    Teori yang bersifat hukum PUBLIK

PENGERTIAN PEMBUKTIAN
1. Menurut Prof. Soepomo
-      Dalam arti luas membuktikan berarti, membenarkan hubungan hukum yaitu memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah.
-      Dalam arti terbatas berarti hanya diperlukan jika apa yang dikemukakan oleh Penggugat itu dibantah Tergugat. Dan apa yang tidak dibantah oleh Tergugat tidak perlu dibuktikan. Artinya kebenaran yang tidak dibantah itu, tidak perlu dibuktikan.

2. Menurut Prof. Soebekti

Meyakinkan pada hakim, tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Maka terlihat bahwa pembuktian itu hanya diperlukan dalam persengketaan perkara.
3. Menurut Prof. Sudikno Mertokusumo
a.Dalam arti Logos, berdasarkan suatu axioma yaitu suatu asas umum yang dikenal dalam ilmu pengetahuan, dimungkinkan adanya pembuktian yang bersifat mutlak yang tidak dimungkinkan adanya bukti lawanDDalam arti Konvensional, memberikan kepastian nisbi dengan tingkatan-tingkatan,
= Conviction intime, kepastian berdasarkan atas
perasaan yang bersifat intvitif.
= Conviction Rational, kepastian yangdidasarkan
pertimbangan awal.

b.Dalam arti Yuridis, Dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup kemungkinan akan bukti lawan. Akan tetapi merupakan pembuktian yang konvensionil bersifat khusus. Pembuktian ini hanya berlaku bagi para pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Maka Pembuktian dalam arti Yuridis, berarti Memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang peristiwa yang diajukan.

4. Dasar Hukum :
a) Pasal 163 HIR,
Barang siapa yang mengatakan mempunyai barang suatu hak, atau menyebutkan suatu kejadian atau meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya haknya itu atau adanya kejadian itu

b) Pasal 1865 KUHPerdata,
Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.

c)    Pasal 164 HIR,
Yang disebut alat-alat bukti yaitu :

c.1 Bukti tulisan,
c.2 Bukti saksi,
c.3 Persangkaan,
c.4 Pengakuan,
c.5 Sumpah.

d)   Pasal 1866 KUHPerdata,
Yang disebut alat-alat bukti yaitu :
d.1 Bukti tulisan,
d.2 Bukti saksi,
d.3 Persangkaan,
d.4 Pengakuan,
d.5 Sumpah.


BUKTI TULISAN

PASAL 1867 KUHPerdata;
Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan dibawah tangan.

PASAL 1868 KUHPerdata;
Suatu akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuat.

PASAL 1874 KUHPerdata;
Sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum ……….

Kekuatan Pembuktian akta :
1.    Akta otentik, Pembuktian sempurna (Ps. 1870 KUHPer, 165 HIR, 285 RBg)
2.    Akta dibawah tangan,
-      Diakui, Ps. 1875 KUHPer, Pembuktian sempurna.
-      Dipungkiri, Ps. 1877 KUHPer, diperiksa dipersidangan oleh hakim

PEMBUKTIAN DENGAN SAKSI

1. DASAR HUKUM
Pasal 139 s.d. 152, Ps. 168 s.d. 178 HIR,
Pasal 165 s.d. 179 RBg.
Pasal 1895, Pasal 1902 s.d. 1912 KUHPerdata.
2. PENGERTIAN
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di depan persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara.
Keterangan tentang peristiwa atau kejadian itu yang dialaminya sendiri, sedang pendapat atau dugaan yang diperoleh dari berpikir tidak merupakan kesaksian.
3.    LARANGAN SEBAGAI SAKSI
a. Absolute
Ø  Keluarga sedarah atau semenda menurut keturunan lurus dari salah satu pihak. (Pasal 145 ayat (1)  HIR., Pasal 172 ayat (1) RBg., Pasal 1910 ayat (1) KUHPerd.)

Ø  Suami atau isteri salah satu pihak, walaupun sudah bercerai (Pasal 145 ayat 1 sub 3, 4 HIR., Pasal 172 ayat 1 sub 3 RBg., Pasal 1910 KUHPerd..)
Pengecualian :
- Kedudukan keperdataan salah satu pihak,
- Mengenai nafkah yang belum dibayar menurut  Buku I
- Alasan pembebasan atau pemecatan kekuasaan orang
tua/ wali;
- Perkara persetujuan perburuhan.

b.    Relatif (sebagai petunjuk tidak disumpah)
Ø  Anak kurang dari 15 tahun (Ps. 145 ayat 1, 3 sub 4 HIR, Ps. 172 ayat 1 sub 5 RBg, Ps. 1912 KUHPerd.)

Ø  Orang gila (Ps. 145 ayat 1 sub 4 HIR, Ps. 172 ayat 1 sub 5 RBg, Ps. 1912 KUHPerd.)

PERSANGKAAN

1. DASAR HUKUM
-      Ps. 1915 s.d. Ps. 1922 KUHPerd.
-      Ps. 173 HIR
2. PENGERTIAN
Persangkaan ialah kesimpulan yang oleh Undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu peritiwa yang tidak terkenal.
Jenis : (Ps. 1915 KUHPerd.)
-      Persangkaan yang ditetapkan oleh Undang-undang (Wettelijk vermoden)
-      Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (Rechtelijk vermoden)
PENGAKUAN
1. DASAR HUKUM
-      Pasal. 1923 s.d. 1928 KUHPerdata
-      Pasal 174 HIR
-      Pasal 312 RBg.

2. PENGERTIAN
Pengakuan adalah suatu pernyataan akan kebenaran oleh salah satu pihak yang bersengketa, tentang apa yang dikemukakan oleh lawannya.
3. MACAM ; (Ps. 1923 KUHPerd.)
Ø  Menurut Undang-undang
a.    Di muka hakim
-      Merupakan bukti sempurna (Ps. 1925 KUHPerd.)
-      Tak dapat ditarik (Ps. 1926 KUHPerd.)
b.    Di luar sidang
-    Diikuti saksi-saksi (Ps. 1927 KUHPerd.)
Ø  Menurut Ilmu Pengetahuan
-      Pengakuan murni,
-      Pengakuan dengan Klausula
-      Pengakuan dengan Kwalifikasi

SUMPAH
1. DASAR HUKUM
-      Pasal 155 s.d. 158 HIR,
-      Pasal 17, Pasal 182 s.d. 185 RBg.
-      Pasal 1929 s.d. 1945 KUHPerd.

2. PENGERTIAN
Sumpah adalah pernyataan khidmat yang dilakukan oleh salah stu pihak yang berkaitan dengan agamanya.

3.MACAM
Sumpah Pemutus (decissoir)
Sumpah Tambahan (supletoir)
Penerapan Pembuktian
Pembuktian dilakukan setelah para pihak melaksanakan tahap replik dan duplik telah selesai dilakukan. Kesempatan pembuktian pertama diberikan kepada Penggugat lebih dulu.Dalam praktek kadang-kadang baik bukti tertulis maupun saksi-saksi m baru kemudian tergugat. Namun ada juga bukti tertulis lebih dulu diberikan kepada penggugat baru tergugat, kemudian pemeriksaan saksi-saksi dari penggugat setelah itu baru tergugat. Kalau diperlukan baik atas usulan salah satu pihak atau atas pertimbangan majelis hakim dapat juga dihadirkan saksi ahli.Dalam kasus tertentu juga kadangkala ada sidang ditempat lokasi kejadian terjadinya obyek perkara.
Contoh akta pembuktian /daftar bukti


Daftar Bukti Penggugat
Rol perkara No…../Pdt. G/2000/PN……….
1. Bukti P-1     : Kwitansi jual beli antara penggugat dengan tergugat
sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).
2. Bukti P-2      : Bukti Giro yang ditolak beserta keterangannya.
3.    dst……..
4.    ……..


Jakarta,
Hormat kuasa,



(…………………….)
Daftar Bukti Tergugat
Rol perkara No…./Pdt.G/2000/PN……….

1. Bukti T-1    :  Akta Notariil Jual beli natara tergugat dengan
penggugat yang dibuat diNotaris/PPAT  Siraj Sullivan,
SH., No3 tanggal………
2. Bukti T-2     : Surat somasi tergugat tertanggal………
dst


Pekanbaru,
Hormat kuasa,



(…………………….)



PUTUSAN


PENGERTIAN
Di bawah ini merupakan pengertian putusan hakim atau pengadilan menurut:
1.    Rubini, S.H. dan Chaidir Ali, S.H., merumuskan bahwa keputusan hakim itu merupakan suatu akte penutup dari suatu proses perkara dan putusan hakim itu disebut vonnis yang menurut kesimpulan-kesimpulan terakhir mengenai hukum dari hakim serta memuat akibat-akibatnya.
2.    Bab I pasal 1 angka 5 Rancangan Undang-undang Hukum Acara Perdata menyebutkan putusan pengadilan adalah : suatu putusan oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang menjalankan kekuasaan kehakiman, yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan di persidangan serta bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu gugatan.
3.    Ridwan Syahrani, S.H. memberi batasan putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan dan mengakhiri perkara perdata.
4.    Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., memberi batasan putusan hakim adalah : suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 5/1959 tanggal 20 April 1959 dan No. 1/1962 tanggal 7 Maret 1962 menginstuksikan kepada para hakim agar pada waktu putusan pengadilan tersebut diucapkan, konsep putusan harus telah dipersiapkan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah adanya perbedaan antara bunyi putusan yang diucapkan hakim di depan persidangan yang terbuka untuk umum dengan yang tertulis.
Putusan hakim harus dibacakan di depan persidangan yang terbuka untuk umum bila hal tersebut tidak dilaksanakan maka terhadap putusan tersebut terancam batal, akan tetapi untuk penetapan hal tersebut tidak perlu dilakukan .
Setiap putusan hakim harus dituangkan secara tertulis  dan ditandatangani oleh ketua sidang dan panitera yang memeriksa perkara tersebut. Berdasarkan pasal 187 HIR apabila ketua sidang berhalangan menandatangani maka putusan itu harus ditandatangani oleh hakim anggota tertua yang telah ikut memeriksa dan memutus perkaranya, sednangkan apabila panitera yang berhalangan maka untuk hal tersebut cukup dicatat saja dalam berita acara.
Berdasarkan pasal 184 HIR suatu putusan hakim harus berisi :
a.    Suatu keterangan singkat tetapi jelas dari isi gugatan dan jawaban.
b.    Alasan-alasan yang dipakai sebagai dasar dari putusan hakim.
c.    Keputusan hakim tentang pokok perkara dan tentang ongkos perkara.
d.    Keterangan apakah pihak-pihak yang berperkara hadir pada waktu keputusan itu dijatuhkan.
e.    Kalau keputusan itu didasarkan atas suatu undang-undang, ini harus disebutkan.
f.     Tandatangan hakim dan panitera.
Berdasarkan pasal 23 UU No. 14/1970, isi keputusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari perturan–peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

BAGIAN PUTUSAN
Suatu putusan pengadilan pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu :
1)   Kepala Putusan
Setiap putusan pengadilan harus mempunyai kepala putusan yang berbunyi : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (pasal 4 ayat (1) UU No. 14/1970). Tulisan tersebutlah yang membuat suatu putusan mempunyai kekuatan eksekutorial, karena bila dapat suatu putusan tidak terdapat tulisan tersebut maka putusan pengadilan tersebut tidak dapat dilaksanakan (Pasal 224 HIR).
2)   Identitas pihak-pihak yang berperkara
Dalam putusan pengadilan identitas para pihak yang berperkara harus dimuat
secara jelas, yaitu nama, alamat, pekerjaan dan sebagainya, serta nama kuasanya bila yang bersangkutan mengkuasakan kepada orang lain.

3)   Pertimbangan (alasan-alasan)
Bagian ini merupakan dasar dari suatu putusan terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu, pertimbangan tentang duduk perkaranya (Feitelijke gronden) adalah tentang apa yang terjadi di depan pengadilan seringkali gugatan dan jawaban dikutip secara lengkap dan pertimbangan hukum (rechts gronden) yang menentukan nilai dari suatu putusan.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 638 k/Sip/1969, tanggal 22 Juli 1970 jo No. 492 k/Sip/1970, tanggal 16 Desember 1970, menyatakan bahwa jika suatu putusan pengadilan kurang cukup pertimbangannya, hal tersebut dapat dijadikan alasan untuk mengajukan kasasi yang berakibat batalnya putusan tersebut.Sedangkan putusan MARI No. 372 k/Sip/1970, tangal 1 September 1971 menyatakan bahwa putusan pengadilan yang didasarkan atas pertimbangan yang menyimpang dari dasar gugatan haruslah dibatalkan.
4)   Amar (dictum) putusan
Putusan MARI No. 104 k/Sip/1968, menyatakan bahwa hakim wajib mengadili semua bagian dari tuntutan, baik dalam kopensi maupun dalam rekopensi, bila tidak maka putusan tersebut harus dibatalkan. Walaupun demikian hakim tidak boleh menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak di tuntut (pasal 178 HIR, MARI No. 399 k/Sip/1969 tanggal 21 Februari 1970 dan MARI No. 1245 k/Sip/1974, tanggal 9 November 1976).



PENGGOLONGAN PUTUSAN
Putusan  dapat di golongkan menjadi :
1.    Putusan Sela (Tussenvonnis)
Merupakan putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Semua putusan sela diucapakan dalam sidang dan merupakan bagian dari berita acara persidangan. Terhadap salinan otentik dari putusan sela tersebut kedua belah pihak dapat memperolehnya dari berita acara yang memuat putusan sela tersebut.
Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam putusan sela yaitu :
a.    Putusan Preparatoir.
Adalah putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan guna melancarkan proses persidangan hingga tercapai putusan akhir.
b.    Putusan Interlocutoir.
Adalah putusan yang isinya memerintahkan pembuktian, isi putusan ini mempengaruhi putusan akhir.
c.    Putusan Incidentieel
Adalah putusan yang berhubungan dengan insiden, yitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa. Putusan ini belum berhubungan dengan pokok perkara, masih bersifat formil belum menyangkut materil suatu perkara.
d.    Putusan Provisionieel
Adalah putusan yang menjawab tuntutan provisi, yaitu permintaan pihak yang berperkara supaya diadakan tindakan pendahuluan untuk kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan.

2.    Putusan Akhir (eindvonnis)
Merupakan putusan yang mengakhiri perkara perdata pada tingkat pemeriksaan tertentu.
Putusan akhir menurut sifat amarnya (dictumnya), dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu :
a.    Putusan Declaratoir
Adalah putusan yang menyatakan suatu keadaan sebagai suatu keadaan yang sah menurut hukum. Putusan ini bersifat hanya menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata.
b.    Putusan Constitutief
Adalah putusan yang menciptakan suatu keadaan hukum baru. Keadaan hukum baru tersebut dapat berupa meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru.
c.    Putusan Condemnatoir
Adalah putusan yang bersifat menghukum para pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi.
Dalam praktek sehari-hari dalam suatu putusan akhir terdapat beberapa jenis sifat putusan, seperti gabungan antara putusan yang bersifat declaratoir dan condemnatoir atau antara putusan yang bersifat declaratoir dan consitutif dan sebagainya.

PUTUSAN PERDAMAIAN
Merupakan putusan yang dijatuhkan hakim yang isinya menghukum para pihak yang berperkara untuk melaksanakan isi perjanjian perdamaian yang sebelumnya telah disetujui oleh para pihak.
Berdasarkan pasal 130 ayat (2) HIR jo Putusan MARI No. 1038 k/Sip/1973, tanggal 1 Agustus 1973 putusan perdamaian mempunyai kekuatan yang sama seperti putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

PUTUSAN GUGUR
Putusan gugur dijatuhkan kepada Penggugat oleh hakim dalam hal Penggugat tidak hadir pada hari sidang pertama tanpa alasan yang sah dan tidak pula menyuruh wakilnya untuk hadir padahal penggugat telah dipanggil secara sah dan patut (Pasal 124 HIR).
Tentang pemanggilan yang sah dan patut telah diatur dalam HIR pasal 122, 388-390 HIR. Agar tidak terjadi kekeliruan dalam menjatuhkan putusan gugar maka hakim harus terlebih dahulu dengan teliti memeriksa berita acara pemanggilan para pihak terutama pihak Penggugat. Bila hakim menemukan bahwa panggilan yang dilakukan oleh juru sita sebelumnya tidak memenuhi syarat pemanggilan yang sah dan patut maka hakim harus memerintahkan pada juru sita untuk mengadakan pemanggilan kembali.
Dalam menjatuhkan putusan agar hakim tidak mempertimbangkan pokok perkara karena memang hakim belum memeriksa pokok perkara gugatan melainkan putusan tersebut dijatuhkan untuk kepentingan tergugat yang hadir di persidangan yang telah mengorbankan tenaga, waktu dan biaya sedang Penggugat sendiri yang lebih berkepentingan terhadap gugatannya tidak hadir di persidangan.
Apabila penggugat hanya hadir pada sidang hari pertama maka terhadap gugatan penggugat tidak dijatuhi putusan gugur melainkan diputus secara contradictoir.

PUTUSAN VERSTEK
Putusan verstek merupakan putusan yang dijatuhkan oleh hakim karena tergugat tidak hadir pada hari sidang pertama dan tidak mengirimkan wakilnya yang sah walaupun telah dipenggil secara sah dan patut (pasal 125 HIR).
Apabila dalam suatu gugatan terdapat lebih dari satu tergugat dan salah satu tergugat datang pada hari sidang pertama atau bila tergugat atau kuasanya tidak hadir pada hari sidang pertama tetapi mengirimkan jawaban terhadap gugatan penggugat maka terhadap gugatan penggugat tersebut tidak dapat diputus secara verstek melainkan secara contradictoir.
Pasal 125 ayat (1) HIR memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu putusan verstek dapat dikabulkan :
1.    Tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak datang pada hari sidang yang telah ditentukan.
2.    Ia atau mereka tidak mengirimkan wakil/kuasanya yang sah untuk menghadap
3.    Ia atau mereka kesemuanya telah dipanggil secara saah dan patut
4.    Petitum tidak melawan hukum
5.    Petitum beralasan.

PUTUSAN SERTA MERTA
Putusan serta merta merupakan suatu putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu  (uit voerbaar bij voorraad) walaupun terhadap putusan tersebut ada upaya hukum lain (baik upaya hukum biasa maupun luar biasa).Putusan ini diatur dalam pasal 180 ayat (1) HIR yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri dapat memerintahkan supaya putusan dijalankan lebih dahulu walaupun ada perlawanan (verzet) atau banding, jika :
a.    Ada surat otentik atau tulisan di bawah tangan yang menurut undang-undang mempunyai kekuatan bukti.
b.    Ada putusan pengadilan sebelumnya yang sudah mempunyai kekuatan tetap yang menguntungkan pihak penggugat dan ada hubungannya dengan gugatan yang bersangkutan.
c.    Ada gugatan provisionil yang dikabulkan.
d.    Dalam sengketa-sengketa mengenai bezitrechts.
Pada praktek putusan uit voerbaar bij voorraad sangat sulit dikabulkan karena banyak menimbulkan kesulitan.