Legal Drafting

• Secara harfiah legal dafting dapat diterjemahkan secara bebas, adalah penyusunan/perancangan Peraturan Perundang-undangan. Dari pendekatan hukum, Legal drafting adalah kegiatan praktek hukum yang menghasilkan peraturan, sebagai contoh; Pemerintah membuat Peraturan Perundang-undangan; Hakim membuat keputusan Pengadilan yang mengikat publik; Swasta membuat ketentuan atau peraturan privat seperti; perjanjian/kontrak, kerjasama dan lainnya yang mengikat pihak-pihak yang melakukan perjanjian atau kontrak.
• Legal Drafting merupakan konsep dasar tentang penyusunan peraturan perundang-undangan yang berisi tentang naskah akademik hasil kajian ilmiah beserta naskah awal peraturan perundang-undangan yang diusulkan. Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasamya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.
• Dapat disimpulkan kegiatan legal drafting disini adalah dalam rangka pembentukan peraturan-perundangan.
• Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan   perencanaan, penyusunan,  pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
• Sesuai dengan bunyi pasal 1 angka 1  UU No. 12 tahun 2011 di atas, bahwa proses sebuah peraturan menjadi legal dan mempunyai daya ikat atau kekuatan hukum tetap harus melewati beberapa tahap.
• Adanya legal drafting ada hubungannya dengan konsep negara hukum.
• Negara hukum (Wirjono Prodjodikoro) adalah “suatu negara yang di dalam wilayahnya semua alat perlengkapan negara khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintah dalam setiap tindakannya terhadap warganegara dan dalam berhubungan tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan hukum, dan semua orang dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan hukum yang berlaku”.
• Sedangkan menurut Hartono Mardjono, dikatakan negara hukum adalah “bilamana di negara tersebut seluruh warganegara maupun alat-alat perlengkapan dan aparat negaranya, tanpa kecuali dalam segala aktifitasnya tunduk kepada hukum”. (equity dan non-discrimination)
• Tujuan Negara Hukum S. Tasrif: 1) Kepastian hukum (tertib/order); 2) Kegunaan (kemanfaatan/utility); dan 3) Keadilan (justice). Sedangkan menurut Ahmad Dimyati: 1) Pencapaian keadilan, 2) Kepastian hukum, dan 3) Kegunaan (kemanfaatan).

 Dasar-dasar hukum pembentukan peraturan perundang-undangan :
1. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 “Negara Indonesia adalah NEGARA HUKUM”
2. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 “Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai kewenangan membentuk UNDANG-UNDANG”
3. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan PERATURAN PEMERINTAH SEBAGAI PENGGANTI UNDANG-UNDANG”
4. Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 “Presiden menetapkan PERATURAN PEMERINTAH untuk menjalankan UNDANG-UNDANG sebagaimana mestinya”
5. Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 “Pemerintah daerah berhak menetapkan PERATURAN DAERAH dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”
6. UU Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Ilmu perundang-undangan terbagi :
1. Proses perundang-undangan (gezetsgebungsverfahren) : meliputi beberapa tahapan dalam pemnbentukan perundang-undangan seperti tahap persiapan, penetapan, pelaksanaan, penilaian dan pemaduan kembali produk yang sudah jadi.
2. Metode prundang-undangan (gezetsgebungsmethode) : ilmu tentang pembentukan inis norma hukum yang teratur untuk dapat mencapai sasarnannya. Pengacuannya kepada hal-hal yang berhubungan dengan perumusan unsur dan struktur suatu ketentuan dalam norma seperti objek norma, subjek norma, operator norma dan kondisi norma.
3. Teknik perundang-undangan (gezetsgebungstechnic) : Teknik perundang-undangan mengkaji hal-hal yg berkaitan dengan teks suatu perundang-undangan meliputi bentuk luar, bentuk dalam, dan ragam bahasa dari peraturan perundang-undangan.

Beda Peraturan perundang-undangan dengan Undang-undang :
• Peraturan perundang-undangan yaitu setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yg berwenang yg berisi aturan tingkah laku atau mengikat secara umum yang disebut juga undang-undang dalam arti materil.
• Undang-undang yaitu keputusan tertulis sebagai hasil kerja sama antara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif yg berisi aturan tingkah laku yg bersifat atau mengikat umum yang disebut juga undang-undang dalam arti formil.
Kesimpulan :
• Untuk membedakan antara UU dalam arti materil dan formil tidak lain adalah menyangkut organ pembentuk dan isinya.
• Jika organ yg membentuk itu adalah pejabat yg berwenang dan isi berlaku dan mengikat umum maka disebut sbg UU dlm arti materiil.
• Hal ini berarti jikalah ada ketentuan tertulis yg dikeluarkan oleh pejabat yg berwenang namun isinya tidak bersifat dan mengikat umu maka ketentuan tsb tidak dapat disebut sebagai UU dalam arti materil atau perundang-undangan.
• Sedangkan jikalau yang membentuk itu adalah organ negara pemegang kekuasaan legislatif (dalam kontek UUD 45 adalah kerjasama antara pemegang kekuasaan eksekuti dan legislatif) yg isinya berlaku dan mengikat umum, maka produk hukum itu disebut UU dalam arti formil atau cukup disebut UU.
• Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 2 dan 3 UU No  12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerUUan.
Ciri-ciri peraturan perundang-undangan :
1. Peraturan perUUan berupa keputusan tertulis, jadi mempunyai bentuk atau format tertentu.
2. Dibentuk, ditetapkan dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, baik ditingkat pusat maupun di di tingkat daerah. Pejabat yang berwenang yang dimaksud adalah pejabat yang ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku baik berdasarkan atribusi maupun delegasi.
3. Perturan PerUUan tersebut berisi aturan pola tingkah laku.
4. Peraturan PerUUan mengikat secara umum umum, tidak ditujukan kepada seseorang atau individu tertentu (tidak bersifat individual).
5. Peraturan perUUan berlaku secara terus menerus (dauerhafing) sampai diubah, dicabut atau digantikan dengan peraturan perUUan yang baru.
Kelebihan dan kelemahan peraturan perundang-undangan :

• Kelebihan peraturan PerUUan (hukum tertulis) :
1. Mudah dikenali, diketemukan kembali maupun ditelusuri.
2. Lebih memberikan kepastian hukum
3. Memungkinkan untuk diperiksa dan diuji
4. Pembentukan dan pengembangannya dapat direncanakan.

• Kelemahan Peraturan PerUUan (hukum tertulis)
1. Terkesan kaku
2. Kurang lengkap.

LANDASAN-LANDASAN DAN ASAS-ASAS HUKUM DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
Landasan pembentukan peraturan perundang-undangan :
1. Landasan filosofis (filosofische grondslag)
• Rumusan atau norma-normanya mendapatkan pembenaran (rechtvaardging) jika dikaji secara filosofis, dan
• Sesuai dengan ciata-cita kebenaran (idee der waarheid), cita keadilan (idee der gerechttigheid), dan cita kesusilaan (idee der zedelijkheid).
2. Landasan sosiologis (sociologische grondslag)
• Dikatakan mempunyai landaan sosiologis bila ketentuan2nya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran masyarakat. Hal ini penting agar UU ditaati dan berlaku efektif dimasyarakat.
3. Landasan yuridis (juridische grondslag)
• Landasan yuridis dimaksud meliputi arti formil dan materil. Secara formil adalah landasan yuridis yang memberikan kewenangan (bevogdheid) bagi instansi tertentu untuk membentuk peraturan perundang-undangan tertentu. Sedangkan secar materil adalah landasan yuridis untuk segi isi (materi) yang harus diatur dalam dalam suatu peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya.
Contoh : dalam konsideran menimbang (grondslag) dikenal juga dengan istilah konsideran factual yang berisikan pertimbangan-pertimbangan dan filosofis dan sosiologis. Selanjutnya konsideran mengingat (rechtgrond) dikenal juga denagan istilah konsideran yuridis berisikan dasar-dasar hukum tertinggi dan sederajat yang dipergunakan untuk pijakan legalitas.
LANDASAN PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. Prinsip-Prinsip Peraturan Perundang-Undangan
1. Dasar Peraturan Perundang-Undangan Selalu Peraturan Perundang-Undangan
• Landasan atau dasar Peraturan Perundang-Undangan secara yuridis selalu Peraturan Perundang-Undangan dan tidak ada hukum lain yang dijadikan dasar yuridis kecuali Peraturan Perundang-Undangan. Dalam menyusun Peraturan Perundang-Undangan harus ada landasan yuridis secara jelas. Walaupun ada hukum lain selain Peraturan Perundang-Undangan namun hanya sebatas dijadikan sebagai bahan dalam menyusun Peraturan Perundang-Undangan. Contoh hukum lain seperti hukum adat, yurisprudensi, dan sebagainya.
2. Hanya Peraturan Perundang-Undangan Tertentu Saja yang Dapat Dijadikan Landasan Yuridis
• Landasan yuridis penyusunan Peraturan Perundang-Undangan yaitu hanya Peraturan Perundang-Undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi dan terkait langsung dengan Peraturan Perundang-Undangan yang akan disusun. Oleh karena itu tidak dimungkinkan suatu Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah dijadikan dasar yuridis dalam menyusun Peraturan Perundang-Undangan. Kemudian Peraturan Perundang-Undangan yang tidak terkait langsung juga tidak dapat dijadikan dasar yuridis Peraturan Perundang-Undangan.
3. Peraturan Perundang-Undangan yang Masih Berlaku Hanya Dapat Dihapus, Dicabut, atau Diubah Oleh Peraturan Perundang-Undangan yang Sederajat atau yang Lebih Tinggi
• Dengan prinsip tersebut, maka sangat penting peranan tata urutan atau hirarki Perundang-Undangan dan dengan prinsip tersebut tidak akan mengurangi para pengambil keputusan untuk melakukan penemuan hukum melalui penafsiran (interpretasi), pembangunan hukum maupun penghalusan hukum terhadap Peraturan Perundang-Undangan.
4. Peraturan Perundang-Undangan Baru mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan Lama
• Apabila terjadi pertentangan antara Peraturan Perundang-Undangan yang sederajat, maka yang diberlakukan adalah Peraturan Perundang-Undangan yang terbaru. Dalam prakteknya pada prinsip tersebut temyata tidak mudah diterapkan, karena banyak Peraturan perundang-Undangan yang sederajat saling bertentangan materi muatannya namun malahan sering dilanggar oleh para pihak yang memiliki kepentingan.
5. Peraturan Perundang-Undangan yang Lebih Tinggi Mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan yang Lebih Rendah
• Apabila terjadi pertentangan antara Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi tingkatannya dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah, maka Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi yang diberlakukan, dan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah dikesampingkan.
6. Peraturan Perundang-Undangan Yang Bersifat Khusus Mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan Yang Bersifat Umum
• Apabila terjadi pertentangan antara Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat khusus dengan Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat umum yang sederajat tingkatannya, maka yang diberlakukan adalah Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat khusus (lex spesialis derogat lex generalis).
7. Setiap Jenis Peraturan Perundang-Undangan Materi Muatannya Berbeda
• Setiap jenis Peraturan Perundang-Undangan materi muatannya harus saling berbeda satu sama lain yang berarti bahwa materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi (terdahulu) tidak boleh diatur kembali di dalam materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah. Penentuan materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak mengalami kesulitan apabila materi muatan tertentu dalam Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi tingkatannya jelas-jelas mendelegasikan kepada Peraturan perundang-Undangan yang lebih rendah.
B. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
1. Asas Formil
Asas formil dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yaitu meliputi:
a. Kejelasan tujuan, yaitu setiap pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan dan manfaat yang jelas untuk apa dibuat;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga atau organ pembentuk Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga atau organ yang tidak berwenang;
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu perumusan materi muatan dalam setiap Peraturan Perundang-undangan harus memiliki kesesuaian dengan jenis perundang-undangan;
d. Dapat dilaksanakan, yaitu setiap pembentukan Peraturan Perundangundangan harus didasarkan pada perhitungan bahwa Peraturan Perundangundangan yang dibentuk nantinya dapat berlaku secara efektif di masyarakat karena telah mendapat dukungan baik secara filosofis, yuridis; maupun sosiologis sejak tahap penyusunannya;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap Peraturan Perundangundangan yang dibentuk benar-benar mempunyai dayaguna dan hasil guna berlaku di dalam masyarakat, berfungsi secara efektif dalam memberikan ketertiban, ketenteraman, dan kedamaian bagi masyarakat ;
f. Kejelasan rumusan, yaitu; bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundangundangan, sistematika, dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interprestasi dalam pelaksanaannya;
g. Keterbukaan, yaitu tidak adanya muatan materi Peraturan Perundangundangan yang disembunyikan atau bersifat semu, sehingga dapat menimbulkan berbagai penafsiran dalam praktek/implementasinya.
2. Asas materil
Materi Peraturan Perundang-undangan mengandung asas:
a. Pengayoman, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi mengayomi seluruh masyarakat dan memberikan perlindungan hak asasi manusia yang hakiki;
b. Kemanusiaan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus bersifat manusiawi dan menghargai harkat dan martabat manusia serta tidak boleh membebani masyarakat di luar kemampuan masyarakat itu sendiri;
c. Kebangsaan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang berasaskan musyawarah dalam mengambil keputusan;
d. Kekeluargaan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas musyawarah mufakat dalam setiap penyelesaian masalah yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan;
e. Kenusantaraan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila atau wilayah/daerah tertentu, sesuai dengan jenis Peraturan Perundangundangan tersebut;
f. Kebhinnekatunggalikaan, yaitu setiap perencanaan, pembuatan, dan penyusunan serta materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, dan golongan khususnya yang menyangkut masalah-masalah yang sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
g. Keadilan yang merata, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan bagi setiap warga negara tanpa kecuali;
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan materi muatannya tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat diskriminatif;
i. Ketertiban dan kepastian hukum; yaitu setiap Peraturan Perundangundangan harus dapat menimbulkan kepastian hukum dan ketertiban dalam masyarakat;
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan materi muatannya atau isinya harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat, serta bangsa dan negara.
C. Asas Pemberlakukan Peraturan Perundang-undangan
• Secara umum ada beberapa asas atau dasar agar supaya Peraturan Perundangundangan berlaku dengan baik dan efektif, dalam arti bahwa Peraturan Perundang-undangan tersebut berlaku dengan baik (sempurna) dan efektif dalam teknik penyusunannya.
• Ada 3 (tiga) asas pemberlakuan Peraturan Perundang-undangan yakni asas yuridis, asas filosofis, asas sosiologis. Teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan merupakan hal lain yang tidak mempengaruhi keberlakuan Peraturan Perundangundangan, namun menyangkut baik atau tidaknya rumusan suatu Peraturan Perundang-undangan.
• Asas yuridis tersebut sangat penting artinya dalam penyusunan Peraturan Perundang-undangan, yaitu yang berkaitan dengan :
1. Keharusan adanya kewenangan dari pembuat Peraturan perundangundangan, yang berarti bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang.
2. Keharusan adanya kesesuaian antara jenis dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan. Ketidaksesuaian jenis tersebut dapat menjadi alasan untuk membatalkan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat.
3. Keharusan mengikuti tata cara atau prosedur tertentu. Apabila prosedur/ tata cara tersebut tidak ditaati, maka Peraturan Perundang-undangan tersebut batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan mengikat.
4. Keharusan tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
a. Asas filosofis Peraturan Perundang-undangan adalah dasar yang berkaitan dengan dasar filosofis/ideologi negara, dalam arti bahwa Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan secara sungguh-sungguh nilainilai (citra hukum) yang terkandung dalam Pancasila. Setiap masyarakat mengharapkan agar hukum itu dapat menciptakan keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan.
b. Asas sosiologis Peraturan Perundang-undangan adalah dasar yang berkaitan dengan kondisi/kenyataan yang hidup dalam masyarakat berupa kebutuhan atau tuntutan yang dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan dan harapan masyarakat. Oleh karena itu Peraturan Perundang-undangan yang telah dibuat diharapkan dapat diterima oleh masyarakat dan mempunyai daya-laku secara efektif. Peraturan Perundang-undangan yang diterima oleh masyarakat secara wajar akan mempunyai daya laku yang efektif dan tidak begitu banyak memerlukan pengarahan institusional untuk melaksanakannya.
c. Soerjono Soekanto-Purnadi Purbacaraka mencatat dua landasan teoritis sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum, yaitu :
1. Teori Kekuasaan (Machttheorie) secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak diterima oleh masyarakat;
2. Teori Pengakuan, (Annerkenungstheorie). Kaidah hukum berlaku berdasarkan penerimaan dari masyarakat tempat hukum itu berlaku.

JENIS DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN LEMBAGA PEMBENTUKNYA
  1. JENIS HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
  • Tata urutan peraturan perundang-undangan menurut  TAP MPrS No.XX/MPRS/1966 jo TAP MPR No. V/MPR/1973 sebagai berikut :
  1. UUD 1945
  2. TAP MPR
  3. UU/PERPU
  4. Peraturan Pemerintah
  5. Keputusan Presiden
  6. Peraturan pelaksana lainnya yang meliputi Peraturan menteri, instruksi menteri dan lain-lain.
  • Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Berdasarkan TAP MPR tersebut, jenis Peraturan Perundang-Undangan adalah:
  1. Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia;
  3. Undang-undang;
  4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
  5. Peraturan Pemerintah;
  6. Keputusan Presiden;
  7. Peraturan Daerah.
  • Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut:
  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945;
  2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
  3. Peraturan Pemerintah;
  4. Peraturan Presiden;
  5. Peraturan Daerah.
  • Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud diatas meliputi:
  1. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur;
  2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota;
  3. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat dengan itu, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.
  4. Selain Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah disebutkan diatas, dan keberadaanya diakui dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, yaitu Peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat
  • Selanjutnya setelah berlakunya UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerUUan, hirarki diatas mengalami perubahan sebagai berikut :
    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945;
    2. Ketetapan MPR  (TAP MPR)
    3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
    4. Peraturan Pemerintah;
    5. Peraturan Presiden;
    6. Peraturan Daerah Provinsi, dan
    7. Peraturan Daerah kabupaten/kota .
  • Penyebutan jenis Peraturan Perundang-undangan di atas sekaligus merupakan hirarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan. Artinya, suatu Peraturan Perundang-undangan selalu berlaku, bersumber dan berdasar pada Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi lagi, dan seterusnya sampai pada Peraturan Perundang-undangan yang paling tinggi tingkatannya. Konsekuensinya, setiap Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih stinggi.


































Tidak ada komentar:

Posting Komentar