Perdagangan internasional merupakan salah satu bagian dari
kegiatan bisnis yang akhir-akhir ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hal
ini terlihat dari semakin berkembangnya arus peredaran barang, jasa, modal dan
tenaga kerja antar negara. Kegiatan ini dapat terjadi melalui hubungan ekspor
impor, investasi, perdagangan jasa, lisensi dan waralaba (license and
franchise), hak atas kekayaan intelektual dan alih teknologi, yang pada
akhirnya memberikan pengaruh terhadap kegiatan ekonomi lainnya, seperti perbankan,
asuransi, perpajakan dan sebagainya.
Untuk mendukung terlaksananya kegiatan bisnis antar negara
diperlukan suatu instrumen hukum dalam bentuk regulasi baik nasional maupun
internasional seperti pengaturan dalam hukum perdagangan internasional (international
trade law). Oleh karena itu dengan masuknya Indonesia sebagai anggota
perdagangan dunia melalui ratifikasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang
Pengesahan Agreement on Establishing The World Trade Organization (WTO)
membawa konsekuensi bagi Indonesia, yaitu harus memetuhi seluruh hasil
kepakatan dalam forum WTO, serta melakukan harmonisasi peraturan
perundang-undangan nasional sesuai dengan hasil kesepakatan WTO (Muhammad Sood,
2005: 7).
Pengaturan Safeguard
Berdasarkan Article XIX GATT 1947 bahwa salah satu
syarat untuk melakukan tindakan pengamanan (safeguard) oleh
negara-negara anggota WTO adalah untuk melindungi industri dalam negeri dan
bersifat non diskrimnatif. Hal ini berarti bahwa tindakan safeguard
melalui pembatasan impor diterapkan karena telah terjadi peningkatan produk
impor, sehingga menimbulkan kerugian (injury) yang serius di dalam
negeri (negara pengimpor). Dengan demikian, negara-negara pengekspor harus
dibatasi aksesnya di pasar negara pengimpor. Selain itu, syarat lain adalah
bahwa negara yang menghadapi negara pengimpor harus diberi kompensasi.
Seanjutnya ditentukan pula bahwa remedy yang dikenakan dalam upaya safeguard
adalah tarif walaupun pembatasan kuantitatif juga dibolehkan.
Menurut H.S. Kartadjoemena, mengingat persyaratannya yang
sangat ketat, maka sejak perjanjian GATT 1947 penggunaan makanisme safeguard
dianggap tidak memuaskan. Aturan untuk menerapkan safeguard sering tidak
efektif sehingga mekanisme ini semakin jarang digunakan. Dengan sistem safeguard
yang tidak memuaskan maka semakin banyak negara menggunakan tindakan di luar
GATT untuk membendung impor. Untuk mencapai tujuan yang sama yakni membatasi
peningkatan impor, yang terjadi adalah timbul praktik-praktik perjanjian yang
diterapkan secara informal walaupun intinya sesungguhnya melanggar GATT namun
secara politis dan teknis sulit dicegah, hal ini dikenal sebagai grey area
measures (H.S. Kartadjoemena, 1997: hal 155).
Dengan dilaksanakan perundingan safeguard di Punta
del Este (Uruguay) yang menyempurnakan ketentuan Article XIX GATT
bertujuan untuk mencapai suatu perjanjian yang komprehensif yang pada
gilirannya akan menyempurnakan aturan main sistem perdagangan multilateral.
Selanjutnya dapat dicatat bahwa Deklarasi Punta del Este juga menetapkan agar
perjanjian dapat dicapai dalam negosiasi mengenai safeguard harus
berdasarkan pada prinsip dasar dari GATT yang dalam hal ini menyangkut prinsip
non diskriminasi (Most Favoured nation principles).
Selama proses perundingan pertama dari tahun 1986 sampai
1988 di Punta del Este, perundingan di bidang safeguard merupakan
perundingan yang paling sulit dan berlarut-larut. Menurut HS Kartadjoemena,
permasalahan utama yang dihadapi para perunding adalah begaimana merumuskan
suatu bentuk persetujuan tetang safeguards yang memuat semua unsur-unsur
sebagaimana ditetapkan dalam mandat deklarasi. Dari semua unsur tersebut
penerapan prinsip non diskriminasi khususnya MFN merupakan masalah utama yang
paling banyak menimbulkan pertentangan khususnya antara negara maju dan negara
berkembang (HS Kartadjoemena: 157).
Pada sidang Mid-Term Review di Montreal 1988 di
Montreal, para menteri hanya memberikan petunjuk mengenai langka-langka
perundingan safeguard yang berdasarkan pada prinsip-prinsip dasar dari
persetujuan umum yang bertujuan untuk mengembang-kan pengawasan safeguard
dengan melakukan tindakan pembatasan serta selalu melakukan kontrol. Para
menteri juga mengakui bahwa melalui persetujuan tersebut sebagai suatu hal yang
sangat penting untuk memperkuatkan sistem GATT dalam rangka mengembangkan
negosiasi perdagangan secara multilateral (Multilateral Trade Negotiation).
Selanjutnya
pada sidang tingkat Menteri di Brussels 1990, bidang safeguard masih
memerlukan keputusan politis karena hal tersebut belum dapat diselesaikan dalam
perundingan sebelumnya baik di Punta del Este maupun di Montreal. Beberapa
masalah utama yang menjadi kontroversial adalah masalah penerapan safeguards
secara selektif (selectivity). Selain itu, masalah aturan permainan
di bidang safeguards juga semakin jarang dilaksanakan karena syaratnya
dianggap terlampau berat untuk dipenuhi. Oleh karena itu maka ada pemikiran
untuk memberikan insentif dalam penggunaan safeguards dengan menambah
syarat agar tidak melakukan tindakan pembalasan (retaliation).
Tindakan pengamanan (safeguard) dilakukan apabila
suatu industri dalam negeri mengahdapi kesulitan karena membanjir produk impor.
Namun bagi negara berkembang diberikan perlakuan khusus yang meringankan. Hal
ini merupakan prinsip yang berlaku dalam perjanjian sebagai suatu masalah special
and defferential treatment yang harus mendapat penyelesaian, antara lain,
masalah waktu safeguards yang juga masih memerlukan penyelesaian politis,
demikian pula semakin banyaknya negara yang bergabung dalam free trade area
dan custom union.
Dengan diselenggarakannya putaran akhir perundingan Uruguay
Round di Marrakech (Marocco) 15 April 1994 akhirnya berhasil disepakati
hasil persetujuan di bidang safeguard. Adapun ringkasan hasil
perundingan di bidang safeguard adalah sebagai berikut (H.S.
Kartadjoemena, 1997: 165):
- Safeguard adalah hak darurat membatasi impor apabila terjadi peningkatan impor yang menimbulkan serious injury terhadap industri domestik.
- Negara berkembangan khawatir akan adanya langkah yang semakin efektif.
- Ketentuan tentang safeguard dapat diterapkan secara provisional selama penyidikan apabila:
a) Ada bukti yang jelas bahwa
peningkatan impor telah atau akan menimbulkan serious injury.
b) Apabila keterlambatan penerapan safeguard
akan menimbulkan kerugian yang sulit diperbaiki.
- Ketentuan seperti voluntary export restraints (VER) tidak boleh diterapkan.
- Safeguard tidak boleh diterapkan lebih dari 4 (empat) tahun kecuali bila masih perlu untuk mencegah injury dan industri yang terkena sedang dalam restrukturisasi.
- Safeguard yang melebihi satu tahun harus dihapus bertahap dan jika melebihi 3 (tiga) tahun harus ditinjau dalam satu setenga tahun.
- Safeguard tidak dikenakan untuk Negara berkembang apabila pangsa Negara tersebut 3% (tiga persen) atau kurang dari total impor Negara penerap safeguards dan apabila pangsa kolektif negara-negara berkembang 9% (sembilan persen) atau kurang dari total impor negara tersebut.
Persetujuan di bidang Safeguards yang berakhir di Marrakech
(Marocco) 15 April 1994 bertujuan untuk meningkatkan dan memperkuat sistem
perdagangan internasional berdasarkan ketentuan GATT 1994 dengan pertimbangan
yaitu:
- Memperjelas dan memperkuat tata tertib GATT 1994, dan khususnya Article XIX GATT (Tindakan Darurat atas Impor Produk tertentu), untuk menegakkan kembali pengendalian multilateral tentang tindakan pengamanan, dan menghi-langkan yang lolos dari pengendalian tersebut.
- Pentingnya penyesuaian struktural dan kebutuhan untuk meningkatkan dan bukan membatasi persaingan dalam pasar internasional.
- Pertimbangan lebih lanjut bahwa untuk tujuan ini, persetujuan menyeluruh yang dapat diterapkan oleh semua anggota berdasarkan prinsip-prinsip GATT 1994.
Dengan dilaksanakan persetujuan di bidang safeguard maka
setiap negera dapat menerapkan tindakan pengamanan terhadap produk domestiknya
apabila industri dalam negeri tidak mampu bersaing sehingga mengalami kerugian
serius sebagai akibat membanjirnya produk impor.
Pelaksanaan Safeguards Dalam Perdagangan Internasional
Dalam ketentuan Umum Persetujuan Tindak Pengamanan (Agrement
on Safeguard) dinyatakan bahwa perjanjian safeguard
menerapkan peraturan untuk pelaksanaan tindakan pengamanan yang harus diartikan
sebagai tindakan yang akan diatur dalam Article XIX GATT 1994. Penerapan
tindakan pengamanan (safeguard) dimaksudkan untuk melindungi produk
industri dalam negeri dari lonjokan atau membanjirnya produk impor yang
merugikan atau mengancam kerugian industri dalam negeri.
Adapun syarat-syarat penerapan safeguard sebagaimana
dijelaskan dalam Article 2 Agreement on Safeguard adalah sebagai
berikut:
- Anggota dapat memohon tindakan pengamanan atas suatu produk jika produk yang diimpor ke dalam wilayah dalam jumlah demikian rupa, mengancam produk sejenis dalam negeri, sehingga menyebabkan kerugian serius bagi industri dalam negeri yang memproduksi produk sejenis atau produk yang langsung.
- Tindakan safeguard akan diterapkan pada produk yang diimpor tanpa dilihat dari sumbernya.
Kebijakan penerapan tindakan Pengamanan (safeguard)
oleh negara peng-impor dilaksanakan melalui beberapa tahapan antara lain
melakukan penyidikan dan pembuktian, menentuan adanya kerugian atau ancaman
kerugian, dan penerapan tindakan pengamanan:
A.
Penyidikan
dan Pembuktian
Setiap negara anggota dapat menerapkan tindakan pengamanan
setelah dilakukan penyelidikan oleh pihak yang berwenang sesuai dengan prosedur
dan diumumkan sesuai dengan Article X GATT 1994. Hal ini dinyatakan
dalam Article 3 Agreement on Safeguard: “A member may apply a
safeguard measure only following an investigation by the competent authorities
of that Member pursuant to procedures previously established and made public in
consonance with Article X of GATT 1994”.
Penyelidikan ini harus mencakup pemberitahuan kepada semua
pihak yang berkepentingan sehingga para importir, eksportir dan pihak-pihak
lain yang berkepentingan dapat mengajukan bukti dan pandangan mereka,
apakah tindakan pengamanan melindungi kepentingan umum. Para pejabat yang
berwenang selanjutnya akan menyampaikan laporan penyidikan mereka dan
memberikan kesimpulan mengenai semua semua fakta dan hukum yang berlaku.
Pelaksanaan penyidikan terhadap adanya kerugian serius atau
ancaman kerugian serius terhadap Industri dalam negeri akibat lonjakan impor
dilakukan oleh sebuah Komite, yang di Indonesia disebut Komite Pengamanan
Perdagangan Indonesia (KPPI). Untuk itu maka kepada pihak berkepentingan yang
secara langsung terkena dampaknya dapat mengajukan permohonan penyelidikan atas
pengamanan kepada Komite.
Adapun pihak berkepentingan yang terkena langsung dampak
peningkatan produk impor adalah sebagai berikut :
1. Produsen dalam negeri Indonesia yang
menghasilkan barang sejenis barang terselidik dan atau barang yang secara
langsung bersaing;
- Asosiasi produsen barang sejenis barang terselidik dan atau barang yang secara langsung bersaing;
- Organisasi buruh yang mewakili kepentingan para pekerja industri dalam negeri.
Apabila dipandang perlu dalam rangka perlindungan industri
dalam negeri, bahkan Pemerintah dapat mengajukan penyelidikan kepada Komite.
Selanjutnya Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) atas prakarsa
sendiri dapat melakukan penyelidikan atas lonjakan impor yang mengakibatkan
kerugian serius dan atau ancamankerugian serius industri dalam negeri.
Berdaasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84
Tahun 2002 Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat
Lonjakan Impor, Pasal 3 ayat (2) menyatakan, untuk mempermudah proses
penyidikan, pemohon harus melengkapi data sekurang-kurangnya memuat sebagai
berikut:
1) identifikasi pemohon;
2) uraian lengkap barang
terselidik;
3) uraian lengkap barang
sejenis atau barang yang secara langsung bersaing;
4) nama eksportir dan negara
pengekspor dan atau negara asal barang;
5) industri dalam negeri yang
dirugikan;
6) informasi mengenai kerugian
serius dan atau ancaman kerugian serius;
7) informasi data impor barang
terselidik.
Untuk kepentingan pengumpulan alat bukti dan kepentingan
pembuktian dalam melaksanakan kewenangannya, Komite berhak meminta data dan
informasi langsung kepada pihak yang berkepentingan atau sumber lainnya yang
dianggap layak, baik instansi/lembaga pemerintah atau swasta.
Selain itu Komite dapat menentukan sendiri bukti-bukti
berdasarkan data dan informasi yang tersedia (best information available)
apabila dalam penyelidikan pihak berkepentingan:
- tidak memberikan tanggapan, data atau informasi yang dibutuhkan sebagai-mana mestinya dalam kurun waktu yang disediakan oleh Komite; atau
- menghambat jalannya proses penyelidikan.
Komite memperlakukan setiap data dan informasi rahasia
sesuai dengan sifatnya. Data dan informasi rahasia tidak dapat diungkapkan pada
umum tanpa izin dari pemilik data dan informasi tersebut. Pihak-pihak berkepentingan
yang menyampaikan data dan informasi rahasia kepada Komite harus melampirkan
suatu catatan ringkas yang berasal dari data dan informasi yang bersifat
rahasia. Catatan ringkas tersebut bersifat tidak rahasia (non-confidential
summaries).
Dalam melaksanakan proses pembuktian, Komite harus
memberikan kesempatan yang sama atau seimbang kepada pihak berkepentingan untuk
menyampaikan bukti-bukti tertulis dan untuk memberikan informasi atau
keterangan tambahan tertulis lainnya kepada Komite. Kemudian Komite dapat
melakukan verifikasi atas data dan informasi yang berasal atau diperoleh dari
pihak berkepentingan di negara pengekspor atau di negara asal barang terselidik
dan industri dalam negeri.
Selanjutnya dalam waktu paling lama 30 hari sejak pengajuan
permohonan tindakan pengamanan tersebut diterima lengkap oleh Komite,
berdasarkan hasil penelitian serta bukti-bukti awal yang lengkap sebagaimana
yang diajukan pemohon tersebut, Komite memberikan keputusan berupa (Pasal 3
ayat 3):
- menolak permohonan dalam hal permohonan tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan; atau
- menerima permohonan dan memulai penyelidikan dalam hal permohonan memenuhi persyaratan.
Selanjutnya
apabila komite menetapkan untuk mengadakan atau tidak mengadakan penyelidikan
atas permohonan pihak berkepentingan, maka Komite harus memberitahukan secara
tertulis disertai alasan-alasannya kepada pihak berkepentingan serta diumumkan
tentang penetapan tersebut dalam media cetak. Atas pemberitahuan tersebut maka
pihak berkepentingan diberikan kesempatan untuk melakukan tanggapan apabila
dianggap terdapat ketidaksesuaian atas alasan-alasan tersebut paling lama 15
(lima belas) hari sejak penetapan Komite (Pasal 4).
Demikian
pula dengan penundaan atau pengakhiran penyelidikan harus diumumkan dalam media
cetak dengan memuat alasan-alasan serta didukung oleh fakta dan disampaikan
segera kepada pihak berkepentingan. Selanjutnya pihak yang mengajukan
permohonan dapat menarik kembali permohonan penyelidikan yang diajukan kepada
Komite (Pasal 5 dan 6).
Dalam
hal hasil penyelidikan ternyata tidak ada bukti kuat yang menunjukkan industri
dalam negeri mengalami kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius sebagai
akibat dari lonjakan impor, Komite menghentikan penyelidikan tindakan
pengamanan. Berdasarkan penetapan penghentian penyelidikan tindakan peng-amanan
oleh Komite, seluruh bea masuk atas impor barang terselidik yang dikenakan
tindakan pengamanan sementara yang telah dibayarkan oleh para importir barang
terselidik harus dikembalikan kepada para importir barang terselidik tersebut.
Kemudian dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari sejak penetapan
penghentian penyelidikan tindakan pengamanan oleh Komite, Menteri Keuangan
mencabut bea masuk barang terselidik yang dikenakan tindakan pengamanan
sementara. Pengembalian bea masuk tersebut harus dilaksanakan sesegera mungkin,
selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri
Keuangan mengenai pencabutan pengenaan bea masuk ( Pasal 7).
Penyelidikan yang dilakukan oleh Komite harus selesai dalam
waktu selambat-lambatnya 200 (dua ratus) hari sejak penetapan dimulainya
penyelidikan. Dalam hal diperlukan informasi tambahan untuk kepentingan
pembuktian, Komite dapat mengirimkan daftar pertanyaan tertulis kepada pihak
berkepentingan. Daftar pertanyaan harus dijawab oleh pihak berkepentingan dalam
waktu 15 (lima belas) hari sejak dikirimnya daftar pertanyaan tertulis tersebut
atau dalam waktu 20 (dua puluh) hari dalam hal terdapat permintaan dari pihak
berkepentingan karena faktor alasan tertentu.
Penentuan Adanya Kerugian atau Ancaman Kerugian
Sebelum
tindakan pengamanan diberlakukan, terlebih dahulu dilakukan pembuktian telah
terjadinya kerugian serius atau ancaman kerugian serius akibat melonjaknya
barang impor. Penentuan adanya kerugian atau ancaman kerugian dimaksud, diatur
dalam Article 4 Agreement on Safeguard sebagai berikut :
(a)
Terjadinya ”kerugian serius” yang diartikan dapat menghalangi perkem-bangan
atau keberadaan industri dalam negeri;
(b)
Adanya “ancaman kerugian serius” yang harus dipahami sebagai kerugian
berat yang jelas akan terjadi, sebagaimana dimaksud dalam ayat 2. Penentuan
adanya ancaman kerugian serius harus didasarkan pada fakta dan bukan pada
tuduhan, dugaan atau kemungkinan yang tersamar lainnya.
Dalam
menentukan kerugian atau ancaman tersebut, “industri dalam negeri” merupakan
produsen secara keseluruhan yang memproduksi produk sejenis atau yang langsung
bersaing yang beroperasi di dalam wilayah suatu anggota, atau hasil produksi
atas produk sejenis yang secara langsung bersaing merupakan bagian terbesar
dari total produksi.
Untuk merealisasi ketentuan Article 4 Agreement on
Safeguard, Pemerintah telah mengeluarkan Kepres Nomor 84 Tahun 2002, Pasal
12 menyatakan:
(1)
Penentuan kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius terhadap industri
dalam negeri akibat lonjakan impor barang terselidik harus didasarkan kepada
hasil analisis dari seluruh faktor-faktor terkait secara objektif dan terukur
dari industri dimaksud, yang meliputi:
- tingkat dan besarnya lonjakan impor barang terselidik, baik secara absolut ataupun relatif terhadap barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing;
- pangsa pasar dalam negeri yang diambil akibat lonjakan impor barang terselidik; dan
- perubahan tingkat penjualan, produksi, produktivitas, pemanfaatan kapasitas, keuntungan dan kerugian serta kesempatan kerja.
(2)
Untuk menentukan lonjakan impor yang mengakibatkan terjadinya ancaman kerugian
serius, Komite dapat menganalisis faktor-faktor lainnya sebagai tambahan selain
faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), seperti:
- kapasitas ekspor riil dan potensial dari negara atau negara-negara produsen asal barang;
- persediaan barang terselidik di Indonesia dan di negara pengekspor.
(3)
Dalam hal kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius terhadap industri
dalam negeri yang timbul pada saat bersamaan dengan lonjakan impor tetapi
disebabkan oleh faktor-faktor lain di luar faktor-faktor sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) maka kerugian serius dan atau ancaman kerugian
serius tidak dapat dinyatakan sebagai akibat lonjakan impor.
Selanjutnya dalam Pasal 13 dinyatakan bahwa penetapan
terjadinya suatu ancaman kerugian serius sebagai akibat lonjakan impor harus
didasarkan pada fakta-fakta dan tidak boleh didasarkan pada dugaan, prakiraan
atau kemungkinan-kemungkinan.
Hal ini dimaksudkan bahwa dalam menentukan adanya kerugian
atau ancaman kerugian serius, Komite Pengamanan Perdagangan harus melakukan
penyelidikan dan analisis secara mendalam guna menemukan fakta-fakta yang
akurat bahwa kerugian atau ancaman kerugian tersebut benar-benar sebagai akibat
dari lonjakan impor, bukan didasarkan pada dugaan atau persepsi semata.
Penyelidikan kurang cermat tidak saja merugikan baik pihak negara pengimpor
melainkan juga negara pengekspor.
Pengenaan Tindakan Pengamanan
Pengenaan Tindakan Pengamanan diatur dalam Agreement on
Safeguard, yaitu Article 5 (tindakan pengamanan tetap) dan Article
6 (tindakan pengamanan sementara). Kedua article tersebut
memperbolehkan kepada setiap negara anggota untuk menerapkan tindakan
pengamanan sejauh diperlukan untuk mencegah atau memperbaiki kerugian serius
guna mempermudah penyesuaian atau pemberian ganti kerugian. Tindakan pengamanan
tersebut dapat dalam bentuk tarif, kuota dan kombinasi antara tarif dan kuota.
Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Pasal 23A menyatakan
bahwa “Bea masuk tindakan pengamanan dapat dikenakan terhadap barang impor
dalam hal terdapat lonjakan barang impor baik secara absolut maupun relatif
terhadap barang produksi dalam negeri yang sejenis atau barang yang secara
langsung bersaing, dan lonjakan barang impor tersebut:
- menyebabkan kerugian serius terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut dan/atau barang yang secara langsung bersaing; atau
- mengancam terjadinya kerugian serius terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dan/atau barang yang secara langsung bersaing.
Selanjutnya Pasal 23B menyatakan bahwa “Bea masuk tindakan
peng-amanan tersebut adalah paling tinggi sebesar jumlah yang dibutuhkan untuk
mengatasi kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian serius terhadap
industri dalam negeri. Bea masuk tersebut merupakan tambahan dari bea masuk
yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Kepabeanan Nomor 10
Tahun 1995.
Berdasarkan
uraian di atas bahwa tindakan pengamanan dilakukan terhadap produk dalam negeri
karena:
- Adanya lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan saingan produk industri dalam negeri.
- Adanya kerugian serius atau ancaman kerugian serius pada industri dalam negeri karena membanjirnya produk impor.
- Adanya hubungan kausal antara lonjakan impor dengan kerugian serius atau ancaman kerugian serius. Analisis kausalitas berdasarkan indikator ekonomi meliputi: produksi, penjualan dalam negeri, pangsa pasar, keuntungan, utulitas kapasitas dan tenaga kerja.
Berdasalkan hasil penyidikan, apabila ditemukannya bukti
bahwa terjadi kerugian serius atau ancaman kerugian serius terhadap industri
domestik karena adanya lonjakan produk impor, maka negara pengimpor harus
memberitahukan kepada Komite Safeguard sebelum mengambil tindakan
pengamanan. Kemudian negara pengimpor anggota WTO terlebih dahulu mengundang
negara pengekspor selaku anggota untuk melakukan konsultasi guna memberikan
kesempatan kepada negara tersebut untuk menegosiasikan penyelesaian masalah.
Menurut Bhagirath Lai Das dalam Cristhophorus Barutu bahwa
setelah konsultasi, negara anggota memutuskan untuk mengambil tindakan
safeguard dalam bentuk (Christhophorus Barutu, 2007: 116-117)
- Pemberlakuan tarif seperti: peningkatan kewajiban impor melampaui tingkat batas, pembebanan biaya tambahan atau pajak tambahan, penggantian pajak produksi, pengenaan tarif kuota yaitu kuota untuk impor pada suatu tarif yang lebih rendah dan pembebanan pada tarif yang lebih tinggi untuk impor yang yang berada di atas kuota.
- Pembebanan non-tarif seperti: penetapan kuota global untuk impor, pengenalan kemudahan dalam perizinan, kewenangan impor, dan tindakan lain yang serupa untuk pengendalian impor.
Untuk menerapkan tindakan pengamanan perdagangan
internasional, dalam Agreement on Safeguard, tindakan pengamanan meliputi
dua bentuk:
- Tindakan Pengamanan (Safeguard) Sementara
Bentuk tindakan pengamanan sementara hendaknya dilakukan
sebelum pelaksanaan tindakan pengamanan tetap. Tindakan pengamanan sementara
dilaksanaka semenjak inisiasi atau permulaan proses penyidikan yang didahulukan
dengan notifikasi. Tindakan ini dilakukan apabila terjadi keadaan darurat yang
jika ditunda atau tidak dilaksanakan, akan menyebabkan terjadinya kerusakan
yang sulit diperbaiki.
Tindakan pengamanan sementara adalah berupa tarif (cash
bond) yang berlaku maksimim 200 hari. Namun apabila tidak diketemukan bukti
bahwa impor barang mengakibatkan kerugian serius atau ancaman terjadinya
kerugian serius terhadap industri dalam negeri maka tarif yang akan dibayarkan
harus dikembalikan kepada importir.
Hal ini telah dinyatakan dalam Article 5 Agreement on
Safeguard, bahwa tindakan pengamanan sementara dapat dilakukan oleh negara
pengimpor anggota WTO jika terjadi keadaan darurat dan apabila ditunda akan
menyebabkan terjadinya kerusakan yang sulit diperbaiki. Tindakan pengamanan
sementara tidak boleh melebihi 200 hari, tindakan tersebut dilakukan sesuai
dengan penentuan sementara yang membuktikan secara nyata bahwa impor yang
meningkat telah menyebabkan atau mengancam kerugian berat terhadap indusri domestik.
Dumping
Pengertian
dumping dalam konteks hukum perdagangan internasional adalah suatu bentuk
diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau
negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar
luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri, dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut.
Sedangkan
menurut kamus hukum ekonomi dumping adalah praktik dagang yang dilakukan
eksportir dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan harga kurang
dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di
negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya,
praktek ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen
pesaing di negara pengimport.
Menurut Robert
Willig ada 5 tipe dumping yang dilihat dari tujuan eksportir, kekuaran pasar
dan struktur pasar import, antara lain : Market Expansion Dumping, Cyclical
Dumping, State Trading Dumping, Strategic Dumping, Predatory Dumping.
Praktek dumping
merupakan praktek dagang yang tidak fair, karena bagi negara
pengimpor, praktek dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau
industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang
dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah daripada barang dalam negeri
akan mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing, sehingga pada akhirnya akan
mematikan pasar barang sejenis dalam negeri, yang diikuti munculnya dampak
ikutannya seperti pemutusan hubungan kerja massal, pengganguran dan bangkrutnya
industri barang sejenis dalam negeri.
Subsidi
Subsidi adalah Bantuan Keuangan/Menanggung Beban Kerugian Subsidi
juga dapat diartikan sebuah pembayaran oleh pemerintah untuk produsen ,
distributor dan konsumen bahkan masyarakat dalam bidang tertentu.Misalnya untuk
mencegah penurunan dari industri (misalnya, sebagai hasil dari operasi yang
tidak menguntungkan terus menerus) atau kenaikan harga produknya atau hanya
untuk mendorong untuk mempekerjakan tenaga kerja yang lebih (seperti dalam
kasus subsidi upah). Contohnya adalah subsidi ekspor untuk mendorong penjualan
ekspor; subsidi pada beberapa bahan makanan untuk menekan biaya hidup, subsidi
harga Bahan bakar minyak, dan subsidi pertanian untuk mendorong perluasan produksi
pertanian dan mencapai kemandirian dalam produksi pangan.
Tarif
Tarif adalah
hambatan perdagangan berupa penetapan pajak atas barang-barang impor. Apabila
suatu barang impor dikenakan tarif, maka harga jual barang tersebut di dalam
negeri menjadi mahal. Hal ini menyebabkan masyarakat enggan untuk membeli
barang tersebut, sehingga barang-barang hasil produksi dalam negeri lebih
banyak dinikmati oleh masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar